Sunday, March 16, 2008

PENYEBAB KEMISKINAN

“Jelajah Sistem Perekonomian Kapitalis dan Sistem Ekonomi Islam”
Oleh: Cecep Suyudi M (Ketua Umum PC IMM Ciputat)

Banyak ragam pendapat mengenai sebab-sebab kemiskinan. Namun secara garis besar dapat dikatakan ada tiga sebab utama kemiskinan. Pertama, kemiskinan alamiyah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang; misalnya cacat mental atau fisik, usia lanjut sehingga tidak mampu bekerja, dan lain-lain. Kedua, kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM, akibat kultur masyarakat tertentu; misalnya rasa malas, tidak produktif, bergantung pada harta warisan, dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat.
Dari tiga sebab utama tersebut, yang paling besar pengaruhnya adalah kemiskinan struktural. Sebab, dampak kemiskinan yang ditimbulkan bisa sangat luas dalam masyarakat. Kemiskinan jenis inilah yang menggejala di berbagai negara dewasa ini. Tidak hanya di negara-negara sedang berkembang – seperti Indonesia - tetapi juga di negara-negara maju.
Kesalahan negara dalam mengatur urusan rakyat, hingga menghasilkan kemiskinan struktural, disebabkan oleh karena kita menerapkan sistem ekonomi kapitalis yang memberikan kesalahan mendasar dalam beberapa hal, antara lain:
Kebebasan Hak Milik
Kebebasan hak milik merupakan salah satu ide dasar yang digunakan kapitalis dalam mengatur kepemilikan. Menurut ide ini, setiap orang berhak memiliki dan sekaligus memanfaatkan segala sesuatu sesuka hatinya. Dengan demikian setiap individu berhak memiliki barang-barang yang termasuk dalam pemilikan umum (public property) seperti ladang-ladang minyak, tambang-tambang besar, pelabuhan, jalan, barang-barang yang menjadi hajat hidup orang banyak, dan lain-lain.
Pembangunan yang menyandar pada paradigma ini, jelas mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial. Akan terjadi akumulasi kekayaan yang melimpah-ruah pada segelintir orang, sementara mayoritas masyarakat tidak dapat menikmati hasil pembangunan. Sebagai contoh, 14 konglomerat terbesar di Indonesia (Bakrie Group, Salim Grup, Sinar Mas Grup, dan lain-lain) menguasai aset senilai Rp. 47,2 trilyun atau senilai 83% APBN Indonesia tahun 1993.
Tolok Ukur Pembangunan
Sebuah masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan, bila pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut cukup tinggi. Dengan demikian, yang diukur adalah produktivitas masyarakat atau produktivitas negara tersebut setiap tahun. Dalam bahasa teknis ekonominya, produktivitas ini diukur oleh Produk Nasional Bruto (PNB atau GNP) dan Produk Domestik Bruto (PDB atau GDP).
Karena PNB atau PDB mengukur hasil keseluruhan dari sebuah negara, padahal jumlah penduduk negara berlainan, maka untuk bisa membandingkan, dipakai ukuran PNB/kapita/tahun atau PDB/kapita/tahun. Dengan demikian dapat diketahui berapa produktivitas rata-rata orang dari negara yang bersangkutan.
Dengan adanya tolok ukur ini, kita dapat membandingkan negara yang satu terhadap negara lainnya. Sebuah negara yang mempunyai PNB/kapita/tahun sebesar US $750, misalnya, dianggap lebih berhasil pembangunannya daripada negara yang PNB/kapita/tahun-nya sebesar US $500.
Penggunaan tolok ukur semacam ini, cenderung menjadikan kebijakan pembangunan negara terfokus pada meningkatkan PNB semata-mata. Akibatnya pertumbuhan ekonomi yang tampak dengan meningkatnya PNB ini pun, sering diklaim oleh pemerintah suatu negara sebagai wujud keberhasilannya dalam menjalankan kepemimpinan. Padahal nilai PNB/kapita/tahun (income per kapita) ini, sama sekali tidak dapat mencerminkan pemerataan dan kemakmuran rakyat. Sebab tolok ukur tersebut hanya menunjukkan nilai rata-rata.
Banyak terjadi, sebagian kecil orang di dalam suatu negara, memiliki kekayaan yang melimpah, sedangkan sebagian besar lainnya justru hidup dalam kemiskinan. Di Amerika saja, misalnya, yang income perkapitanya mencapai US $25,400 dapat dijumpai kantong-kantong kemiskinan.
Menurut laporan John Gaventa, seorang Ilmuwan Politik dari AS, mengatakan bahwa di suatu lembah di Pegunungan Appalachia Tengah, Amerika, terdapat komunitas penduduk yang miskin sekali. Menurut perkiraan, sebanyak 70% keluarga setempat hidup di bawah garis kemiskinan, dan sebanyak 30% keluarga menganggur. Ironisnya daerah tersebut amat kaya sekali dengan tambang batubara, yang dieksploitasi oleh sebuah perusahaan tambang raksasa. Jelas bahwa penggunaan PNB atau PDB sebagai tolok ukur keberhasilan dalam pembangunan, telah menjadikan kemiskinan di suatu negara, tersembunyi di balik angka-angka tersebut.
Memang ada tolok ukur tambahan yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan pembangunan. Yaitu dengan menyertakan faktor pemerataan pendapatan dalam masyarakat. Misalnya, dengan melihat berapa prosen dari PNB yang diraih oleh 40% penduduk termiskin, 40% penduduk golongan menengah, dan 20% penduduk terkaya. Dalam ilmu ekonomi, bila 40% penduduk termiskin menerima kurang dari 12% PNB ketimpangan yang ada dianggap mencolok. Jika menerima 12% - 17%, ketimpangannya dianggap sedang. Dan jika menerima lebih dari 17%, ketimpangannya dianggap lumayan kecil. Meskipun demikian, jika paradigma kebebasan hak milik tetap menjadi acuan, terjadinya ketimpangan tetap tidak pernah bisa dihindari.

Peran Negara
Menurut pandangan kapitalis, peran negara secara langsung di bidang sosial dan ekonomi, harus diupayakan seminimal mungkin. Bahkan diharapkan negara hanya berperan dalam fungsi pengawasan dan penegakan hukum semata. Lalu siapa yang berperan secara langsung menangani masalah sosial dan ekonomi? Tidak lain adalah masyarakat itu sendiri atau swasta. Karena itulah dalam masyarakat kapitalis kita jumpai banyak sekali yayasan-yayasan. Di antaranya ada yang bergerak dibidang sosial, pendidikan, dan sebagainya. Selain itu, kita jumpai pula banyak program swatanisasi (privatisasi) badan usaha milik negara.
Peran negara semacam ini, jelas telah menjadikan negara kehilangan fungsi utamanya sebagai pemelihara urusan rakyat. Negara juga akan kehilangan kemampuannya dalam menjalankan fungsi pemelihara urusan rakyat. Akhirnya rakyat dibiarkan berkompetisi secara bebas dalam masyarakat. Realitas adanya orang yang kuat dan yang lemah, yang sehat dan yang cacat, yang tua dan yang muda, dan sebagainya, diabaikan sama sekali. Yang berlaku kemudian adalah hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang dan berhak hidup.
Untuk mengatasi penyebab masalah kemiskinan tersebut, maka tiga kesalahan mendasar diatas, perlu direformasi terlebih dahulu. Bagaimana caranya ? Harus merubah paradigma Sistem Ekonomi yang sudah terbukti telah me’miskin’kan rakyat secara struktural. Pilihan nya tidak ada yang lain, selain kembali kepada Sistem Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah).
ZIS Untuk Pengentasan Kemiskinan
Kemiskinan yang diderita oleh sebagian besar penduduk Indonesia yang mayoritas muslim tidak akan dapat dipecahkan dengan cara-cara konvensional, yaitu penyaluran ZIS dalam bentuk pemberian bantuan berupa uang, beras dan pakian semata. Cara-cara demikian justru hanya akan dapat menciptakan ketergantungan terus menerus dari kalangan muslim pada pemberian itu. Mereka akan terus manunutk diberi bantuan. Oleh sebab itu, perlu dirumuskan strategi pemberdayaan kaum dhuafa yang lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif yang mampu membebaskan mereka dari ketergantungan kepada bantuan. Selain itu, dana ZIS yang disalurkan digunakan pula untuk peningkatan kualitas SDM dari kaum dhuafa itu sendiri, berupa penyelenggaraan barbagai pelatihan keterampilan dan penyediaan bea siswa, serta membebaskan mereka dari biaya-biaya pengobatan di puskesmas.
Yang perlu dilancarkan adalah program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan secara terpadu, melibatkan seluruh pihak terkait dengan program pengentasan kemiskinan dan masyarakat itu sendiri ditingkat akan rumput, baik golongan kaya/menengah maupun dari kelompok masyarakat golongan miskin itu sendiri. Oleh sebab itu, disetiap kelurahan, program pengentasan kemiskinan yang berbasiskan pada masyarakat iotu sendiri. Untuk itu seliuruh KK yang tergolong mampu disadarkan tentang tanggung jawab meraka, dengan cara menegeliuarkan ZIS.

No comments: