Tuesday, February 27, 2007

Keadilan Islam

Oleh: M. Syamsi Ali

(Imam Masjid Indonesia di New York).

Jika ajaran Islam didalami secara teliti, didapati bahwa inti dari semua

linea ajarannya bertumpu pada satu kata "keadilan" atau "al 'adl". Kenapa

demikian? Karena keadilan adalah sentra kehidupan, di mana kehidupan akan

mengalami kehancurannya tanpa tegaknya keadilan. Dengan kata lain,

sesungguhnya tiada kehidupan tanpa keadilan itu sendiri.


Kenyataan di atas didukung oleh sebuah ayat dalam al Qur'an (S. Ar Rahman:

7 dan 9).

وَالسَّمَاء رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ

[55:7] Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan).

وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ

[55:9] Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu


Allah menggambarkan bahwa alam semesta ini ditegakkan dengan sebuah

"keseimbangan" (mizan). Tanpa keseimbangan ini, alam semesta termasuk langit

dengan segala perangkat celestial (kelompok planet) akan ambruk.

Penggambaran ini dikembalikan kepada manusia agar tidak menghilangkan

"keseimbangan" (keadilan)nya dalam hidup ini. Sebab jika itu terjadi,

ambruklah kehidupannya. Manusia yang tidak adil alias zalim dalam

kehidupannya akan mengalami kejatuhan, baik pada tataran individunya maupun

pada skala sosialnya (moralitas). Akan ambruk pada aspek kehidupan ekonomi,

politik, budaya maupun hankamnya.


Keadilan dalam Islam adalah universal dan tidak mengenal boundaries

(batas-batas), baik batas nasinalitas, kesukuan, etnik, bahasa, warna kulit,

berbagai status (sosial, ekonomi, politik), dan bahkan batas agama

sekalipun. Kedailan dalam Islam justeru ditegakkan walau itu untuk memenuhi

hak-hak makhluk Allah yang lain, termasuk hewan. Mungkin kita masih ingat,

seorang wanita dihukum karena menganiaya seekor kucing, tidak diberi makanan

dan juga tidak dibiarkan untuk mencari makannya sendiri. Keadilan ini harus

diterapkan secara "tegas" tanpa ada kecenderungan diskriminatif.

Kesimpulannya, keadilan Islam hanya mengenal dua batas, yaitu "kebenaran"

dan "kebatilan". Keadilan akan selalu memihak kepada yang benar, dan akan

selalu menentang yang salah tanpa pandang kepada batas-batas tadi.


Universalisme keadilan Islam juga terpatri dalam cakupannya, yang mencakup

seluruh sisi kehidupan. Manusia, dituntut adil tidak saja dalam berinteraksi

dengan sesama manusia, tapi yang lebih penting adalah adil dalam

berinteraksi dengan Khaliknya dan dirinya sendiri. Kegagalan berlaku adil

kepada salah satu sisi kehidupannya, hanya membuka jalan luas bagi

kesewenang-wenangan kepada aspek kehidupannya yang lain. Ketidak adilan

dalam berinteraksi dengan Sang Khalik misalnya justeru menjadi sumber segala

bencana kehidupan. Allah menjelaskan:


"Telah nampak kerusakan di bumi dan di laut sebagai akibat kejahilan

tangan-tangan manusia, yang dengannya, Allah menjadikan mereka merasakan

akibat sebagian dari apa yang mereka telah lakukan, dan semoga dengannya,

mereka kembali kepadaNya" (ar Rum)


Kerusakan-kerusakan di atas, baik di darat maupun dilaut dan bahkan di

angkasa luar saat ini, karena ulah manusia itu sendiri. Kenapa manusia

berulah demikian? Allah merincinya pada ayat selanjutnya:


"Maka berjalanlah kamu di atas bumi ini dan perhatikan bagaimana akibat

orang-orang sebelum mereka (kerusakan tadi), kebanyakannya adalah melakukan

kesyirikan" (ar Rum).


Mengabdi kepada Allah secara tidak proporsional, diluar ukuran timbangan

(mizan), juga dapat mengakibatkan kezaliman pada sisi yang lain. Mungkin

kepada keluarga, orang lain, atau mungkin kepada diri sendiri. Kecenderungan

"rahbanist" atau menihilkan kehidupan duniawi dengan alasan ibadah adalah

suatu bentuk kezaliman di sisi lain. Shalat malam secara terus menerus,

puasa sunnah tanpa berhenti, sengaja tidak mencari keutamaan Allah

(fadhlullah) dalam dunia kekinian (materi), bahkan sebagian menilai menikahi

wanita adalah bentuk "ketidak taatan", adalah bentuk-bentuk kezaliman yang

lain.


Keadilan dalam Islam juga tidak mengenal pembatas "kekeluargaan",

"pertemanan" dan bahkan "permusuhan" sekalipun. Keadilan harus ditegakkan,

walau itu menyentuh kepentingan diri, keluarga, teman kita sendiri. Bahkan

menurut al Qur'an, tegakkan keadilan itu walau demi memnerikan hak kepada

siapa yang kita anggap sebagai musuh. Dengan kata lain, "like and dislike"

tidak boleh menjadi ukuran dalam penegakan keadilan dalam Islam. Allah

menegaskan:


"Dan janganlah kiranya kebencianmu kepada suatu kaum menjadikanmu melenceng

dari keadilan. Adillah, keran keadilan itu dekat kepada ketakwaan, dan

bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha mengetahui seluruh perbuatanmu"

.


Adil dalam berinteraksi dengan Pencipta


Allah menggambarkan bahwa persaksian Dia, para mailakat serta seluruh umat

beriman akan keesaanNya, dikategoirikan sebagai penegakan keadilan. Dengan

demikian, mengimani kemaha tunggalan Allah SWT dalam segala aspeknya, baik

secara Rububiyah, Uluhiyah maupun dalam kaitan Asma dan Sifatnya

mengindikasikan komitmen yang sangat tinggi untuk menegakkan keadilan. Allah

berfirman:


شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ قَآئِمَاً بِالْقِسْطِ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

[3:18] Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu188 (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana


Allah juga menggambrakan bahwa mereka yang mengesakan Allah adalah tidak

saja melakukan atau menegakkan keadilan, tapi juga menjadi "penyeru" kepada

keadilan tersebut. Sebaliknya, mereka yang tidak beriman kepada Allah adalah

mereka yang lemah, selalu tergantung kepada orang lain, serta tidak pernah

mendatangkan kebajikan dalam kehidupan. Penggambaran ini diberikan oleh

Allah dalam firmanNya:


"Dan Allah memberikan dua contoh lelaki. Yang satu adalah buta, tidak

memiliki kekuatan sedikit pun, serta dia bergantung kepada tuannya, di mana

saja dia diperintah dia tidak pernah membawa kebajikan. Apakah orang ini

sama dengan yang siapa yang memerintahkan kepada keadilan serta berada di

jalan yang lurus?"


Adil dalam berinteraksi dengan diri sendiri


Adil pada diri sendiri menjadi begitu penting, karena tanpa keadilan ini

kehidupan akan menjadi timpang dan tidak lengkap. Kehidupan manusia

dilengkapi tiga kebutuhan dasar yang tidak terpisahkan, yaitu kebutuhan

material, spiritual, dan intelektual. Ketiga kebutuhan tersebut mutlak

terpenuhi pada kadar yang telah ditentukan. Memenuhi kebutuhan fisik dengan

menelantarkan keperluan spiritual akan melahirkan sosok yang kuat namun

liar. Bak kuda liar yang akan menerjang kiri kanan tanpa aturan. Sebaliknya,

memenuhi kebutuhan spiritual dengan menelantarkan hajat material, juga

melahirkan sosok yang "saleh" namun lemah. Kekuatan intelektual semata juga

melahirkan kelicikan yang hanya membahayakan diri dan manusia di sekitarnya.


Untuk itulah, Rasulullah dalam banyak hadits menganjurkan agar manusia adil

dalam menyikapi dirinya sendiri. Ketika seorang sahabat beribadah secara

berlebihan, beliau mengingatkan bahwa sesungguhnya mata, telinga, hidung,

perut dan bawah perut, semuanya punya hak-hak untuk dipenuhi. Ketika tiga

sahabat nabi bertekad untuk membagi tugas "rahbanis", yaitu satu tidak ingin

tidur untuk shalat sepanjang malam, satu lagi tidak ingin makan untuk puasa

sunnah secara berterusan, dan satu lagi tidak ingin nikah karena tak ingin

terganggu dalam kegiatan ibadahnya kepada Allah, Rasulullah marah dan

menasehati mereka untuk tidak bersikap demikian. Malah beliau menegaskan:

"Barangsiapa yang tidak mengikuti sunnahku (bersikap adil/imbang), maka

bukanlah dari kalangan umatku".


Adil dalam berinteraksi dengan anggota keluarga


Salah satu dilemma besar yang dihadapi oleh dunia modern saat ini adalah

kezaliman terhadap kehidupan keluarga. Ironisnya, terkadang kezaliman ini

dibangun di atas persepsi "membangun: keluarga bahagian/sejahtera. Sebagai

misal, seorang ayah yang bekerja dari pagi hingga sore. Berangkat pagi di

saat anak-anak masih tidur pulas, dan pulang sore di kala anak-anak telah

bergegas utuk menuju tempat tidur. Komunikasi jarang terjadi, apalagi dalam

konteks edukasi, atau lebih specifik lagi mengajarkan anak-anaknya akhlak

yang baik. Jarangnya terjadi komunikasi antara ayah dan anak ini menjadi

masalah dalam masalah, karena di sinilah seorang anak walau seluruh

kebutuahn materinya terpenuhi, namun merasa ditinggalkan. Lebih celaka lagi,

jika kedua suami-isteri memiliki kesibukan yang sama.


Sepintas kerja keras eorang ayah di atas adalah untuk kebaikan keluarga itu

sendiri, namun tanpa disadari sesungguhnya telah terjadi ketidak adilan

dalam berinteraksi dengan anggota keluarga. Hal ini juga bisa menyentuh

hubungan suami-isteri, yang terkadang masing-masing punya "schedule" dalam

kesehariannya. Sehingga tanpa disadari, kemakmuran materi yang dihasilkan

diselimuti oleh kegersangan "relasi" di antara anggota keluarga itu sendiri.


Untuk itulah, Rasulullah secara khusus menegaskan: "Sungguh bagi keluargamu

memiliki hak atas dirimu".


Dalam hal pendidikan, terkadang semangat untuk melihat anak-anak kita

sukses dalam dunianya, menjadikan sebagian orang tua lupa akan usaha-usaha

kesuksesannya di dunia mendatang (akhirat). Menyikapi pendidikan anak yang

seperti ini juga merupakan bentuk "kezaiman" yang tidak disadari.


Adil terhadap sesama Muslim


Dalam al Qur'an disebutkan bahwa jika ada dua kelompok Muslim bertkai, maka

diupayakan perbaikan/rekonsiliasi di antara keduanya. Jika dalam prosesnya,

salah satu dari keduanya berbuat zalim (baghy), maka kelompok tersebut harus

diperangi dengan tujuan agar kembali ke jalan Allah (kebenaran). Jika telah

sadar, dan ingin berbuat secara adil, maka sekali lagi didamaikan di antara

keduanya dengan "ukuran keadilan" yang sangat dan esktra hati-hati (Al

Hujuraat: 9).


وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِن فَاءتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

[49:9] Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil


Al Qur'an menyinggu sejak awal existensi masyarakat sekalipun bahwa suatu

hari pada suatu tempat akan terjadi "benturan-benturan" di antara kaum

Muslimin (iqtataluu). Kata iqtataluu menggambarkan bahwa benturan ini memang

wujudnya "ramai", berkali-kali, sering kejadiannya. Untuk itu, diperlukan

pihak ketiga dari kalangan umat ini sendiri (bukan orang luar) untuk

mengupayakan rekonsiliasi di antara kedua kelompok yang bertikai. Kenapa

penegasannya bahwa rekonsiliator harus dari kalangan umat ini sendiri?

Karena mustahil kita mengharapkan keadilan dari siapa yang tidak mengenal

apa dan bagaimana keinginan orang-orang Islam itu dari orang luar. Selain

itu, mereka dalam melakukan upaya-upaya rekonsiliasi mendahulukan

kepentingannya sendiri.


Adil terhadap sesama manusia


Sebagaimana disebutkan terdahulu, keadilan Islam tidak mengenal pembatas,

kecuali pembatas kebenaran dan kebathilan. Ukuran keadilan ditegakkan di

atas asas kebenaran. Kalau ternyata dalam sebuah kasus, kebenaran adalah

milik seorang non Muslim, maka Islam wajib memberikan kepadanya hak

tersebut. Kisah Khalifah Ali, yang pernah menemukan baju besinya di rumah

seorang yahudi. Maka Ali pun mengadukan yahidu itu kepada pengadilan.

Sayangnya, Ali sendiri tidak bisa membuktikan bahwa baju besi itu adalah

miliknya. Maka hakim memutuskan bahwa yang salah adalah Bapak Presiden

(khalifah Islam), dan yang berhak atas baju itu adalah sang yahudi.


Berbagai perjanjian yang dibuat rasulullah SAW dengan non Muslim di Madinah

menunjukkan bahwa Islam begitu luas meperlakukan non Muslim secara adil.

Salah satunya sebagai misal, adalah delegasi Kristen Nejran yang dating dari

kampung Nejran untjk melaukan dialog dengan Rasulullah dalam berbagai

masalah teologi, termasuk tentang Allah dan Isa AS. Di ujung dialog yang

menjadikan mereka tetap dalam kekufurannya, Rasulullah justeru membuat

perjanjian yang dikenal "'Ahd Nagran". Perjanjian tersebut, salah satunya,

menegaskan jaminan keadilan kepada mereka, jika mereka menuntut keadilan itu

kepada orang-orang Muslim.


Kedailan dirasakan oleh seluruh non Muslim di seantero dunia di bawah

kekuasaan Muslim. Di Spanyol kaum yahudi dan Kristen hidup secara tenteram

bersama kaum Muslimin, menikmati segala fasilitas yang ada secara

bersama-sama tanpa ada diskriminasi sekalipun. Ketika umat Islam terusir

dari kawasan tersebut oleh penguasa Kristen, kaum yahudi lebih memilih

melarikan diri ke negara-negara Islam di Afrika Utara dan Tukia, karena

merasa mendapat perlundungan dari penguasa Muslim.


Demikian pula kaum nasrasi di bawah pemerintahan Islam di Baghdad ketika

itu, hidup secara damai, tenteram dan sejahtera bersama-sama dengan penduduk

Islam. Bahkan ketika dominasi Kristen barat memasuki wilayah itu, banyak di

antara mereka yang justeru lebih nyaman berada di bawah pemerintahan Islam

ketimbang Kristen barat yang memiliki sistim keagamaan tersendiri.


Adil dalam berinteraksi dengan makhluk Allah yang lain


Prilaku zalim yang dilakukan manusia seringkali juga dialami oleh

makhluk-makhluk Allah yang lain, termasuk hewan, tumbuh-tumbuhan, maupun

lingkungan hidup. Kebuasan dan kerakusan dalam mengumpulkan keuntungan

materi, dan atas nama kemakmuran dan kesejahteraan, justeru menimbulkan

berbagai "ketidak adilan" dalam kehidupan. Banyak jenis hewan yang mengalami

keterputusan jenis, hutan dan pohonan secara liar ditebang, polusi udara

semakin menjadi-jadi, yang pada akhirnya manusia jugalah yang menanggung

akibatnya.


Untuk itulah, dalam Islam diajarkan berabagai metode untuk menjaga

keseimbangan/keadilan di alam semesta tersebut. Pada saat berihram misalnya

diajarkan agar jangan membunuh binatang atau mencabut tumbuh-tumbuhan,

sesungguhnya pelajaran untuk menjaga semua ini dalam kehidupan keseharian.

Kisah seekor anjing yang diselamatkan oleh seseorang yang haus, kisah sarang

semut yang dibakar oleh para sahabat, menunjukkan bahwa jauh sebelum

organisasi hak-hak hewan tumbuh menjamur di barat saat ini, Islam telah

memperlihatkan compassion dan cintanya yang tinggi kepada makhluk Allah yang

lain. Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah: "Akankah kita mendapat

pahala karena menyelamatkan semut-semut itu? Beliau menjawab: "Pada semua

makhluk hidup ada pahala yang dapat diraih".


Demikian uraian ringan tentang keadilan Islam, tidak saja menjadi keharusan

bagi umatnya untuk ditegakkan tapi telah menjadi "fitrah Islam" itu sendiri.

Artinya, berislam dan mengaku Muslim dan pada saat yang sama melakukan

kezaliman-kezaliman, adalah sama kalau berisalam secara tidak alami. Mungkin

Islam itu adalah islam "kekuasaan" dan prestise semata, serta dengan

tujuan-tujuan duniawi lainnya. Maka tidak mengherankan, banyak penguasa

mengaku beragama Islam bahkan menjalankan syariat Islam, tapi dalam

menjalankan kekuasaannya jauh dari nilai-nilai keadilan.



csm_privatlibrary.blogspot.com