Keadilan Islam
Oleh: M. Syamsi Ali
(Imam Masjid Indonesia di New York).
Jika ajaran Islam didalami secara teliti, didapati bahwa inti dari semua
linea ajarannya bertumpu pada satu kata "keadilan" atau "al 'adl". Kenapa
demikian? Karena keadilan adalah sentra kehidupan, di mana kehidupan akan
mengalami kehancurannya tanpa tegaknya keadilan. Dengan kata lain,
sesungguhnya tiada kehidupan tanpa keadilan itu sendiri.
Kenyataan di atas didukung oleh sebuah ayat dalam al Qur'an (S. Ar Rahman:
7 dan 9).
وَالسَّمَاء رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ
[55:7] Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan).
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
[55:9] Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu
Allah menggambarkan bahwa alam semesta ini ditegakkan dengan sebuah
"keseimbangan" (mizan). Tanpa keseimbangan ini, alam semesta termasuk langit
dengan segala perangkat celestial (kelompok planet) akan ambruk.
Penggambaran ini dikembalikan kepada manusia agar tidak menghilangkan
"keseimbangan" (keadilan)nya dalam hidup ini. Sebab jika itu terjadi,
ambruklah kehidupannya. Manusia yang tidak adil alias zalim dalam
kehidupannya akan mengalami kejatuhan, baik pada tataran individunya maupun
pada skala sosialnya (moralitas). Akan ambruk pada aspek kehidupan ekonomi,
politik, budaya maupun hankamnya.
Keadilan dalam Islam adalah universal dan tidak mengenal boundaries
(batas-batas), baik batas nasinalitas, kesukuan, etnik, bahasa, warna kulit,
berbagai status (sosial, ekonomi, politik), dan bahkan batas agama
sekalipun. Kedailan dalam Islam justeru ditegakkan walau itu untuk memenuhi
hak-hak makhluk Allah yang lain, termasuk hewan. Mungkin kita masih ingat,
seorang wanita dihukum karena menganiaya seekor kucing, tidak diberi makanan
dan juga tidak dibiarkan untuk mencari makannya sendiri. Keadilan ini harus
diterapkan secara "tegas" tanpa ada kecenderungan diskriminatif.
Kesimpulannya, keadilan Islam hanya mengenal dua batas, yaitu "kebenaran"
dan "kebatilan". Keadilan akan selalu memihak kepada yang benar, dan akan
selalu menentang yang salah tanpa pandang kepada batas-batas tadi.
Universalisme keadilan Islam juga terpatri dalam cakupannya, yang mencakup
seluruh sisi kehidupan. Manusia, dituntut adil tidak saja dalam berinteraksi
dengan sesama manusia, tapi yang lebih penting adalah adil dalam
berinteraksi dengan Khaliknya dan dirinya sendiri. Kegagalan berlaku adil
kepada salah satu sisi kehidupannya, hanya membuka jalan luas bagi
kesewenang-wenangan kepada aspek kehidupannya yang lain. Ketidak adilan
dalam berinteraksi dengan Sang Khalik misalnya justeru menjadi sumber segala
bencana kehidupan. Allah menjelaskan:
"Telah nampak kerusakan di bumi dan di laut sebagai akibat kejahilan
tangan-tangan manusia, yang dengannya, Allah menjadikan mereka merasakan
akibat sebagian dari apa yang mereka telah lakukan, dan semoga dengannya,
mereka kembali kepadaNya" (ar Rum)
Kerusakan-kerusakan di atas, baik di darat maupun dilaut dan bahkan di
angkasa luar saat ini, karena ulah manusia itu sendiri. Kenapa manusia
berulah demikian? Allah merincinya pada ayat selanjutnya:
"Maka berjalanlah kamu di atas bumi ini dan perhatikan bagaimana akibat
orang-orang sebelum mereka (kerusakan tadi), kebanyakannya adalah melakukan
kesyirikan" (ar Rum).
Mengabdi kepada Allah secara tidak proporsional, diluar ukuran timbangan
(mizan), juga dapat mengakibatkan kezaliman pada sisi yang lain. Mungkin
kepada keluarga, orang lain, atau mungkin kepada diri sendiri. Kecenderungan
"rahbanist" atau menihilkan kehidupan duniawi dengan alasan ibadah adalah
suatu bentuk kezaliman di sisi lain. Shalat malam secara terus menerus,
puasa sunnah tanpa berhenti, sengaja tidak mencari keutamaan Allah
(fadhlullah) dalam dunia kekinian (materi), bahkan sebagian menilai menikahi
wanita adalah bentuk "ketidak taatan", adalah bentuk-bentuk kezaliman yang
lain.
Keadilan dalam Islam juga tidak mengenal pembatas "kekeluargaan",
"pertemanan" dan bahkan "permusuhan" sekalipun. Keadilan harus ditegakkan,
walau itu menyentuh kepentingan diri, keluarga, teman kita sendiri. Bahkan
menurut al Qur'an, tegakkan keadilan itu walau demi memnerikan hak kepada
siapa yang kita anggap sebagai musuh. Dengan kata lain, "like and dislike"
tidak boleh menjadi ukuran dalam penegakan keadilan dalam Islam. Allah
menegaskan:
"Dan janganlah kiranya kebencianmu kepada suatu kaum menjadikanmu melenceng
dari keadilan. Adillah, keran keadilan itu dekat kepada ketakwaan, dan
bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha mengetahui seluruh perbuatanmu"
.
Adil dalam berinteraksi dengan Pencipta
Allah menggambarkan bahwa persaksian Dia, para mailakat serta seluruh umat
beriman akan keesaanNya, dikategoirikan sebagai penegakan keadilan. Dengan
demikian, mengimani kemaha tunggalan Allah SWT dalam segala aspeknya, baik
secara Rububiyah, Uluhiyah maupun dalam kaitan Asma dan Sifatnya
mengindikasikan komitmen yang sangat tinggi untuk menegakkan keadilan. Allah
berfirman:
شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ قَآئِمَاً بِالْقِسْطِ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
[3:18] Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu188 (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
Allah juga menggambrakan bahwa mereka yang mengesakan Allah adalah tidak
saja melakukan atau menegakkan keadilan, tapi juga menjadi "penyeru" kepada
keadilan tersebut. Sebaliknya, mereka yang tidak beriman kepada Allah adalah
mereka yang lemah, selalu tergantung kepada orang lain, serta tidak pernah
mendatangkan kebajikan dalam kehidupan. Penggambaran ini diberikan oleh
Allah dalam firmanNya:
"Dan Allah memberikan dua contoh lelaki. Yang satu adalah buta, tidak
memiliki kekuatan sedikit pun, serta dia bergantung kepada tuannya, di mana
saja dia diperintah dia tidak pernah membawa kebajikan. Apakah orang ini
sama dengan yang siapa yang memerintahkan kepada keadilan serta berada di
jalan yang lurus?"
Adil dalam berinteraksi dengan diri sendiri
Adil pada diri sendiri menjadi begitu penting, karena tanpa keadilan ini
kehidupan akan menjadi timpang dan tidak lengkap. Kehidupan manusia
dilengkapi tiga kebutuhan dasar yang tidak terpisahkan, yaitu kebutuhan
material, spiritual, dan intelektual. Ketiga kebutuhan tersebut mutlak
terpenuhi pada kadar yang telah ditentukan. Memenuhi kebutuhan fisik dengan
menelantarkan keperluan spiritual akan melahirkan sosok yang kuat namun
liar. Bak kuda liar yang akan menerjang kiri kanan tanpa aturan. Sebaliknya,
memenuhi kebutuhan spiritual dengan menelantarkan hajat material, juga
melahirkan sosok yang "saleh" namun lemah. Kekuatan intelektual semata juga
melahirkan kelicikan yang hanya membahayakan diri dan manusia di sekitarnya.
Untuk itulah, Rasulullah dalam banyak hadits menganjurkan agar manusia adil
dalam menyikapi dirinya sendiri. Ketika seorang sahabat beribadah secara
berlebihan, beliau mengingatkan bahwa sesungguhnya mata, telinga, hidung,
perut dan bawah perut, semuanya punya hak-hak untuk dipenuhi. Ketika tiga
sahabat nabi bertekad untuk membagi tugas "rahbanis", yaitu satu tidak ingin
tidur untuk shalat sepanjang malam, satu lagi tidak ingin makan untuk puasa
sunnah secara berterusan, dan satu lagi tidak ingin nikah karena tak ingin
terganggu dalam kegiatan ibadahnya kepada Allah, Rasulullah marah dan
menasehati mereka untuk tidak bersikap demikian. Malah beliau menegaskan:
"Barangsiapa yang tidak mengikuti sunnahku (bersikap adil/imbang), maka
bukanlah dari kalangan umatku".
Adil dalam berinteraksi dengan anggota keluarga
Salah satu dilemma besar yang dihadapi oleh dunia modern saat ini adalah
kezaliman terhadap kehidupan keluarga. Ironisnya, terkadang kezaliman ini
dibangun di atas persepsi "membangun: keluarga bahagian/sejahtera. Sebagai
misal, seorang ayah yang bekerja dari pagi hingga sore. Berangkat pagi di
saat anak-anak masih tidur pulas, dan pulang sore di kala anak-anak telah
bergegas utuk menuju tempat tidur. Komunikasi jarang terjadi, apalagi dalam
konteks edukasi, atau lebih specifik lagi mengajarkan anak-anaknya akhlak
yang baik. Jarangnya terjadi komunikasi antara ayah dan anak ini menjadi
masalah dalam masalah, karena di sinilah seorang anak walau seluruh
kebutuahn materinya terpenuhi, namun merasa ditinggalkan. Lebih celaka lagi,
jika kedua suami-isteri memiliki kesibukan yang sama.
Sepintas kerja keras eorang ayah di atas adalah untuk kebaikan keluarga itu
sendiri, namun tanpa disadari sesungguhnya telah terjadi ketidak adilan
dalam berinteraksi dengan anggota keluarga. Hal ini juga bisa menyentuh
hubungan suami-isteri, yang terkadang masing-masing punya "schedule" dalam
kesehariannya. Sehingga tanpa disadari, kemakmuran materi yang dihasilkan
diselimuti oleh kegersangan "relasi" di antara anggota keluarga itu sendiri.
Untuk itulah, Rasulullah secara khusus menegaskan: "Sungguh bagi keluargamu
memiliki hak atas dirimu".
Dalam hal pendidikan, terkadang semangat untuk melihat anak-anak kita
sukses dalam dunianya, menjadikan sebagian orang tua lupa akan usaha-usaha
kesuksesannya di dunia mendatang (akhirat). Menyikapi pendidikan anak yang
seperti ini juga merupakan bentuk "kezaiman" yang tidak disadari.
Adil terhadap sesama Muslim
Dalam al Qur'an disebutkan bahwa jika ada dua kelompok Muslim bertkai, maka
diupayakan perbaikan/rekonsiliasi di antara keduanya. Jika dalam prosesnya,
salah satu dari keduanya berbuat zalim (baghy), maka kelompok tersebut harus
diperangi dengan tujuan agar kembali ke jalan Allah (kebenaran). Jika telah
sadar, dan ingin berbuat secara adil, maka sekali lagi didamaikan di antara
keduanya dengan "ukuran keadilan" yang sangat dan esktra hati-hati (Al
Hujuraat: 9).
وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِن فَاءتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
[49:9] Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil
Al Qur'an menyinggu sejak awal existensi masyarakat sekalipun bahwa suatu
hari pada suatu tempat akan terjadi "benturan-benturan" di antara kaum
Muslimin (iqtataluu). Kata iqtataluu menggambarkan bahwa benturan ini memang
wujudnya "ramai", berkali-kali, sering kejadiannya. Untuk itu, diperlukan
pihak ketiga dari kalangan umat ini sendiri (bukan orang luar) untuk
mengupayakan rekonsiliasi di antara kedua kelompok yang bertikai. Kenapa
penegasannya bahwa rekonsiliator harus dari kalangan umat ini sendiri?
Karena mustahil kita mengharapkan keadilan dari siapa yang tidak mengenal
apa dan bagaimana keinginan orang-orang Islam itu dari orang luar. Selain
itu, mereka dalam melakukan upaya-upaya rekonsiliasi mendahulukan
kepentingannya sendiri.
Adil terhadap sesama manusia
Sebagaimana disebutkan terdahulu, keadilan Islam tidak mengenal pembatas,
kecuali pembatas kebenaran dan kebathilan. Ukuran keadilan ditegakkan di
atas asas kebenaran. Kalau ternyata dalam sebuah kasus, kebenaran adalah
milik seorang non Muslim, maka Islam wajib memberikan kepadanya hak
tersebut. Kisah Khalifah Ali, yang pernah menemukan baju besinya di rumah
seorang yahudi. Maka Ali pun mengadukan yahidu itu kepada pengadilan.
Sayangnya, Ali sendiri tidak bisa membuktikan bahwa baju besi itu adalah
miliknya. Maka hakim memutuskan bahwa yang salah adalah Bapak Presiden
(khalifah Islam), dan yang berhak atas baju itu adalah sang yahudi.
Berbagai perjanjian yang dibuat rasulullah SAW dengan non Muslim di Madinah
menunjukkan bahwa Islam begitu luas meperlakukan non Muslim secara adil.
Salah satunya sebagai misal, adalah delegasi Kristen Nejran yang dating dari
kampung Nejran untjk melaukan dialog dengan Rasulullah dalam berbagai
masalah teologi, termasuk tentang Allah dan Isa AS. Di ujung dialog yang
menjadikan mereka tetap dalam kekufurannya, Rasulullah justeru membuat
perjanjian yang dikenal "'Ahd Nagran". Perjanjian tersebut, salah satunya,
menegaskan jaminan keadilan kepada mereka, jika mereka menuntut keadilan itu
kepada orang-orang Muslim.
Kedailan dirasakan oleh seluruh non Muslim di seantero dunia di bawah
kekuasaan Muslim. Di Spanyol kaum yahudi dan Kristen hidup secara tenteram
bersama kaum Muslimin, menikmati segala fasilitas yang ada secara
bersama-sama tanpa ada diskriminasi sekalipun. Ketika umat Islam terusir
dari kawasan tersebut oleh penguasa Kristen, kaum yahudi lebih memilih
melarikan diri ke negara-negara Islam di Afrika Utara dan Tukia, karena
merasa mendapat perlundungan dari penguasa Muslim.
Demikian pula kaum nasrasi di bawah pemerintahan Islam di Baghdad ketika
itu, hidup secara damai, tenteram dan sejahtera bersama-sama dengan penduduk
Islam. Bahkan ketika dominasi Kristen barat memasuki wilayah itu, banyak di
antara mereka yang justeru lebih nyaman berada di bawah pemerintahan Islam
ketimbang Kristen barat yang memiliki sistim keagamaan tersendiri.
Adil dalam berinteraksi dengan makhluk Allah yang lain
Prilaku zalim yang dilakukan manusia seringkali juga dialami oleh
makhluk-makhluk Allah yang lain, termasuk hewan, tumbuh-tumbuhan, maupun
lingkungan hidup. Kebuasan dan kerakusan dalam mengumpulkan keuntungan
materi, dan atas nama kemakmuran dan kesejahteraan, justeru menimbulkan
berbagai "ketidak adilan" dalam kehidupan. Banyak jenis hewan yang mengalami
keterputusan jenis, hutan dan pohonan secara liar ditebang, polusi udara
semakin menjadi-jadi, yang pada akhirnya manusia jugalah yang menanggung
akibatnya.
Untuk itulah, dalam Islam diajarkan berabagai metode untuk menjaga
keseimbangan/keadilan di alam semesta tersebut. Pada saat berihram misalnya
diajarkan agar jangan membunuh binatang atau mencabut tumbuh-tumbuhan,
sesungguhnya pelajaran untuk menjaga semua ini dalam kehidupan keseharian.
Kisah seekor anjing yang diselamatkan oleh seseorang yang haus, kisah sarang
semut yang dibakar oleh para sahabat, menunjukkan bahwa jauh sebelum
organisasi hak-hak hewan tumbuh menjamur di barat saat ini, Islam telah
memperlihatkan compassion dan cintanya yang tinggi kepada makhluk Allah yang
lain. Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah: "Akankah kita mendapat
pahala karena menyelamatkan semut-semut itu? Beliau menjawab: "Pada semua
makhluk hidup ada pahala yang dapat diraih".
Demikian uraian ringan tentang keadilan Islam, tidak saja menjadi keharusan
bagi umatnya untuk ditegakkan tapi telah menjadi "fitrah Islam" itu sendiri.
Artinya, berislam dan mengaku Muslim dan pada saat yang sama melakukan
kezaliman-kezaliman, adalah sama kalau berisalam secara tidak alami. Mungkin
Islam itu adalah islam "kekuasaan" dan prestise semata, serta dengan
tujuan-tujuan duniawi lainnya. Maka tidak mengherankan, banyak penguasa
mengaku beragama Islam bahkan menjalankan syariat Islam, tapi dalam
menjalankan kekuasaannya jauh dari nilai-nilai keadilan.