Wednesday, February 28, 2007

BANJIR JAKARTA DALAM SOROTAN


BANJIR DALAM SOROTAN
Oleh: Cecep Suyudi M


Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya, akhirnya saya bisa menyelesaikan tugas ini dalam bentuk makalah yang masih sangat jauh dari kesempurnaan.
Shalawat serta salam di haturkan pada Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarganya dan sahabatnya yang setia mengorbankan jiwa raga dan lainnya demi tegaknya syi’ar islam, yang pengaruh serta manfaatnya hingga kini masih terasa.
Selanjutnya, makalah ini di hadapan para pembaca yang budiman, di susun dalam rangka memenuhi salah satu tugas yang di ajukan oleh Bapak dosen sebagai bagian dari proses belajar di perkualiahan.
Disadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan, baik dari segi isinya, tulisannya, bahasanya, analisis dan lain sebagainya. Untuk itu saran dan kritik dari para pembaca dengan senang hati akan penulis terima, diiringi ucapan terima kasih.


BAB I
PENDAHULUAN


Dalam kasus banjir Jakarta, tuding-menuding itu tidak pantas dilakukan. Adalah lebih baik, sebelum menuding, coba introspeksi diri. Evaluasi dan koreksi berbagai kekurangan yang ada. Bukankah kita belum melihat ada upaya-upaya realistis dari Pemprov DKI menyangkut penanganan banjir?
Banjir Jakarta 2007 adalah bencana banjir yang menghantam Jakarta dan sekitarnya sejak 1 februaru 2007 malam hari. Selain sistem drainase yang buruk, banjir berawal dari hujan lebat yang berlangsung sejak sore hari tanggal 1 Febuari hingga keesokan harinya tanggal 2 Februari, ditambah banyaknya volume air 13 sungai yang melintasi Jakarta yang berasal dari BOPUNJUR, dan air laut yang sedang pasang, mengakibatkan hampir 60% wilayah DKI Jakarta terendam banjir dengan kedalaman mencapai hingga 2 meter di beberapa titik lokasi banjir.
Pantauan di 11 pos pengamatan hujan milik BMG menunjukkan, hujan yang terjadi pada Jumat, 2 Februari, malam lalu mencapai rata-rata 235 mm, bahkan tertinggi di stasiun pengamat Pondok Betung mencapai 340 mm. Hujan rata-rata di Jakarta yang mencapai 235 mm itu sebanding dengan periode ulang hujan 100 tahun dengan probabilitas kejadiannya 20 persen.
Banjir 2007 ini lebih luas dan lebih banyak memakan korban manusia dibandingkan bencana serupa yang melanda pada tahun 2002 dan1996. Sedikitnya 60 orang dinyatakan tewas selama 10 hari karena terseret arus, tersengat listrik, atau sakit. Kerugian material akibat matinya perputaran bisnis mencapai triliunan rupiah, diperkirakan 4,3 triliun rupiah. Warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang hingga 7 Februari 2007.
Banjir besar pada awal Februari 2007 yang menimpa jakarta adalah musibah nasional. Musibah kita. Musibah Indonesia. Harus kita katakan demikian lantaran dengan jakarta lumpuh akibat banjir itu, hampir semua wilayah Indoensia terkena imbas meski skalanya berbeda-beda.
Jakarta bukan hanya ibu kota Indonesia. Lebih dari itu, jakarta merupakan pusat penyelenggaraan sebagian besar pemerintahan. Begitu pusat pengendalian itu terganggu, terganggulah denyut pemerintahan Indonesia secara keseluruhan. Namun, persoalan sesungguhnya ketika jakarta lumpuh ialah sebagian besar aktivitas ekonomi berpusat di jakarta. Sampai saat ini, hampir 90 persen uang Indonesia beredar di jakarta.
Ini berarti bukan hanya cermin ketidak merataan peredaran uang, melainkan tingginya tingkat ketergantungan sebagian besar Indonesia kepada jakarta. Karena itu, begitu ekonomi Jakarta lumpuh akibat terjangan banjir besar, dampak buruknya amat terasa juga di belahan Indonesia lain.
Ketika sentra-sentra barang seperti Tanah Abang, Cipulir, dan lain-lain tergenang banjir, distribusi produk ke berbagai daerah ikut terganggu pula. Itu belum termasuk hancurnya pelayanan publik dan administrasi. Praktis sejak Jumat lalu pelayanan publik berantakan. Bukan hanya para pegawai tidak bisa bekerja lantaran akses jalan dari rumah ke tempat bekerja lumpuh total, melainkan juga adanya persoalan psikologis.
Andaikan banjir besar jakarta tidak memutus akses transportasi, tetap saja tidak banyak pegawai yang mau bekerja. Sebab, mereka lebih memikirkan kehidupan rumah tangga yang terancam banjir daripada harus berangkat ke kantor. Dan, itu adalah manusiawi.
Apalagi, kenyataannya memang sebagian besar ruas jalan tergenang air yang tidak memungkinkan pegawai bekerja normal seperti hari-hari sebelumnya. Banjir jakarta menjelaskan pula dengan kasat mata mengenai buruknya manajemen penanganan bencana dan penanganan korban. Bahwa air bah itu menghambat mobilitas dan kecepatan penanganan korban memang ya.
Hanya, kalau jakarta saja seperti itu -banyak korban yang sudah mengungsi dua hari tetapi belum memperoleh bantuan makanan, pakaian bersih, dan obat-obatan, terserang penyakit, dan 20 orang lebih tewas- bagaimana daerah lain yang memiliki peralatan penanganan bencana serba terbatas?
Persoalannya tetap saja asli dan khas karakter Indonesia. Meski jakarta hampir memiliki segala-segalanya, peralatan dan personel penanganan bencana dan korban, semuanya berpulang pada mental manusianya.

BAB II
FAKTOR PENYEBAB BANJIR;
DALAM SOROTAN


AKIBAT guyuran hujan deras sepanjang Selasa (30/12) malam hingga Rabu (31/12), kecuali Jakarta Selatan, empat wilayah DKI Jakarta disergap banjir. Sejumlah ruas jalan, pusat bisnis, perkantoran, fasilitas publik tergenang air hingga puluhan centimeter. Aktivitas masyarakat pun jadi terganggu.
Terhitung sejak Rabu (31/12), Pemprov DKI Jakarta memasuki tahap persiapan siaga II banjir. Alasan Pemprov DKI adalah berdasarkan data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) yang menyebut intensitas curah hujan di Jakarta meningkat. Menurutnya, hal lain yang mendorong Pemprov DKI Jakarta bersiap menuju siaga II adalah genangan air yang meluas dan meningkatnya potensi pengungsian akibat banjir. Namun, jika dalam perkembangannya curah hujan malah turun dan banjir mereda, status siaga III dan IV yang kini diberlakukan, bisa saja malah tidak berlaku lagi.
Tetapi, persoalan banjir Jakarta tidak hanya sampai di situ. Dalam setiap peristiwa banjir yang melanda kawasan ibu kota negara ini, senantiasa menyisakan perdebatan. Para ahli lingkungan, pejabat Pemprov DKI, bahkan para politisi, biasanya angkat bicara. Para pakar biasanya mengritik berbagai kebijakan Pemprov DKI yang dianggap tidak becus mengatur tata ruang wilayahnya dan tidak mau belajar dari pengalaman banjir masa lalu dalam upaya mengantisipasi datangnya banjir.
Pejabat DKI, tak terkecuali Gubernur Sutiyoso pun dibuat sibuk, menangkis berbagai kritik yang ditujukan kepadanya. Tidak cukup menangkis, kadang suka melempar tanggung jawab dengan menuding bahwa banjir yang melanda wilayahnya adalah kiriman dari daerah lain. Yang paling sering kena tuding, tentu saja Jawa Barat.
Setiap pejabat pemerintahan memang punya hak untuk membela diri dari berbagai kecaman dan kritikan berkaitan dengan bencana yang menimpa daerahnya. Tetapi, bagaimana caranya membela diri, bisa jadi ukuran seberapa besar tanggung jawabnya sebagai pejabat kepada publik yang dipimpinnya. Apalagi jika dalam pembelaannya ia melempar tanggung jawab kepada pihak lain, amat mungkin, tindakannya bakal dianggap seperti pepatah, "buruk muka, cermin dibelah".
Dalam konteks banjir Jakarta beberapa hari kemarin misalnya, bagaimana mungkin banjir itu bisa disebut kiriman dari Bopuncur jika hujan hanya turun deras di Jakarta, sedangkan di Bopuncur normal-normal saja. Tentunya ini adalah pelajaran berharga bagi para pejabat daerah lain dalam setiap menghadapi problem banjir di daerahnya. Bukan kita, tetapi apa yang disampaikan Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan, pantas mendapat apresiasi tinggi. Bahwa dalam kasus banjir Jakarta, tuding-menuding itu tidak pantas dilakukan. Adalah lebih baik, sebelum menuding orang lain, coba introspeksi diri. Evaluasi dan koreksi berbagai kekurangan yang ada. Bukankah kita belum melihat ada upaya-upaya realistis dari Pemprov DKI menyangkut penanganan banjir, padahal musibah itu setiap tahun selalu menimpa mereka?
Di mana pun, yang namanya banjir terjadi karena kombinasi dari sejumlah variabel. Mulai dari tingginya intensitas curah hujan, tata ruang yang kurang memerhatikan aspek keseimbangan antara ruang lahan yang dimanfaatkan untuk bangunan dan ruang penampung air, serta buruknya sistem drainase. Curah hujan adalah variabel alam yang tak mungkin direkayasa. Yang paling mungkin dilakukan adalah bagaimana melakukan penataan ruang sesuai peruntukannya, menyiapkan sistem drainase yang baik, serta sistem peringatan dini kepada masyarakat. Banjir tidak akan reda hanya lewat sebuah tudingan dan lempar tanggung jawab.
Di hulu, air hujan yang seharusnya terserap ke tanah justru mengalir ke sungai. Tidak ada lagi pepohonan yang menyimpan air di dalam tanah. Tidak ada lagi tanah yang terbuka untuk menyimpan air. Kawasan yang semula diperuntukkan untuk kawasan hijau telah berganti fungsi karena tuntutan perkembangan ekonomi kota. Fungsi konservasi lingkungan tidak lagi diperhatikan. Di hilir, daerah aliran sungai yang masuk ke Jakarta pun dipadati oleh rumah-rumah penduduk dan bangunan lainnya. Bahkan, beberapa bagian badan sungai menyempit karena banyaknya rumah yang didirikan di atas sungai.
Banjir besar yang terjadi di Jakarta memang ditimbulkan oleh kondisi sampah yang menyumbat saluran atau sistem drainase Jakarta. Di sisi lain memang banyak faktor penyebabnya, seperti intensitas curah hujan tinggi yang berlangsung antara 29 Januari 2007-3 Februari 2007.
Kemudian terjadi genangan selain akibat intensitas curah hujan tinggi, juga air laut di Teluk Jakarta sedang mengalami pasang. Permukaan air laut pun bisa naik antara 30-40 sentimeter menyebabkan permukaan air di daratan lebih rendah.
Genangan air bah pun betah bertahan di sebagian wilayah Jakarta. Genangan air kali ini diperkirakan berbagai pihak mencapai 70 persen luasnya, sedangkan banjir pada tahun 2002 diperkirakan menggenangi 50 persen wilayah Jakarta. Volume sampah yang terbuang sembarangan di Jakarta pada tahun 2007 ini memang amat mengkhawatirkan. Sebab, volume sampah per hari di Jakarta mencapai 6.000-7.000 ton, tetapi hanya 18 persen yang terbuang di lokasi pembuangan atau pengolahan secara resmi.

Volume Banjir
Berdasarkan data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), curah hujan yang terjadi antara 29 Januari hingga 3 Februari 2007 memiliki volume air yang jauh lebih besar, dibandingkan pada tahun 2002. Volume air hujan yang turun lima hari berturut-turut itu terhitung mampu menggenangi 706,5 kilometer persegi dengan kedalaman satu meter. Dibandingkan hujan deras yang menimbulkan banjir pada tahun 2002, volume banjir hanya mampu menggenangi 528,8 kilometer persegi dengan kedalaman satu meter pula. Tingginya debit air hujan yang ditumpahkan dari langit, bukanlah satu-satunya tersangka penyebab banjir di Jakarta. Apalagi itu merupakan fenomena alam yang memang tidak patut untuk dipersalahkan.
"Peningkatan volume air hujan menjadi bagian dari perubahan iklim global. Peningkatan pemanasan secara global tentu memperbanyak massa uap air menjadi awan. Ketika turun menjadi hujan pun, airnya dari masa-masa nanti akan makin bertambah," kata Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BMG Mezak A Ratag.
Banjir akibat curah hujan terlalu berlimpah, akhirnya mendorong banyak pihak menunjuk atau menyalahkan perilaku masyarakat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang tidak mampu menjaga saluran air hujan bebas dari sampah. Setidaknya, saluran-saluran atau sungai yang ada tidak dijaga sehingga tidak mampu mengalirkan limpasan air hujan secara lokal maupun dari dataran tinggi Bogor dengan lancar.

Mitigasi bencana
Banjir kini sudah berlalu. Namun, seperti dikatakan Ratag, pemanasan global berdampak pada peningkatan volume air hujan, itu menyiratkan pada masa-masa mendatang banjir bisa selalu datang tanpa permisi terlebih dahulu.
Mitigasi atau pengurangan potensi bencana menjadi soal tersendiri. Analisis iklim dan cuaca penyebab banjir seperti tahun-tahun sebelumnya sudah titumpahruahkan banyak ahli. Solusi mengatasi banjir di masa-masa mendatang menjadi sesuatu hal yang teramat penting.
Seperti beberapa pakar yang tergabung dalam Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI), Rabu kemarin, pun berbagai saran dan pertimbangan untuk mitigasi bencana banjir di Jakarta. Lambok Hutasoit, pakar hidrogeologi yang mengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB) mengemukakan, solusi untuk mengatasi banjir di Jakarta pada masa-masa mendatang ialah dengan menambah atau menciptakan ruang resapan air. "Sumur resapan dan situ-situ memang harus ditambah sebanyak-banyaknya. Kemudian sistem tandon air dalam tanah perlu dibuat di Jakarta untuk menabung air selama musim hujan. Pada musim kemarau nanti, airnya bisa dipanen," kata Lambok dalam situs resmi pemprof Lombok.
Pakar perubahan iklim ITB, Armi Susandi mengusulkan untuk menghentikan atau mengurangi dampak pemanasan global. "Jangan menggunakan sumber energi yang menghasilkan dampak gas rumah kaca. Pembabatan hutan harus dihentikan dan areal hutan diperluas,".
Atika Lubis, pakar hidrometeorologi ITB meyakinkan, daya serap tanah di Jakarta, memang rendah. Satu-satunya jalan untuk mengurangi limpasan air hujan dengan menahan air selama mungkin mulai dari dataran Bogor. Fadli Samsudin, pakar dinamika Atmosfer dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), memberi solusi mengatasi banjir dengan peningkatan perhatian terhadap sistem peringatan dini yang dapat dipantau melalui pencitraan satelit.
Kini, menjadi tugas seluruh warga Jakarta dan aparat pemerintah, untuk mengubah sikap rendah yang tak menghargai alam lingkungan, menjadi hormat dan menjaga lingkungan. Petugas sapu di jalanan, jangan diam-diam membuang onggokan sampah di bawah jembatan. Pemilik rumah jangan pura-pura buta, tidak melihat selokan rumah yang tersumbat. Setiap rumah sebaiknya membuat sumur resapan. Untuk solusi-solusi besar, pemerintahlah yang bertanggung jawab. Seperti menciptakan kembali situ-situ, membuat tandon air dalam tanah, menormalisasikan sungai dengan pengerukan dan pembersihan sampah, serta peningkatan teknologi pompa air yang anti-ngadat.

Kurangnya Daerah Resapan
Menteri Negara Lingkungan Hidup (Men-LH), Rachmat Witoelar, mengatakan bahwa penyebab utama banjir di Jakarta adalah berkurangnya lahan resapan air akibat didirikannya bangunan secara besar-besaran. "Terlalu banyak mal," katanya di Jakarta, Jumat. Menurut dia, banyak pengembang yang tidak secara serius memperhatikan dampak ekologis akibat pendirian bangunan secara sembarangan. Witoelar menegaskan, pembangunan itu sebagian besar dilakukan di daerah-daerah resapan air, sehingga menambah volume air yang tidak terserap. Hal itu, katanya, sangat memungkinkan untuk menjadi banjir. Selain kekurangan daerah resapan air, Rachmat juga menuding budaya hidup masyarakat yang belum manyadari arti penting hutan juga menjadi salah satu penyebab.
Penggungdulan hutan, katanya, sudah selayaknya dihentikan untuk mengurangi bencana yang hampir setiap tahun menimpa warga Ibukota itu. Kemudian, kesadaran warga dalam membuang sampah pada tempatnya sudah selayaknya ditingkatkan untuk memperkuat usaha pengendalian banjir, demikian Witoelar. Men LH mengemukakan pendapatnya itu sehubungngan peristiwa banjir melanda sejumlah wilayah di Jakarta dan sekitarnya sejak Kamis (1/1) malam, yang menenggelamkan rumah warga sehingga aktivitas dan berbagai sarana publik tak berfungsi.

Bukan dari Cianjur
Hujan deras selama tiga hari mengguyur hampir seluruh wilayah Kab. Cianjur. Para petani pun berseri-seri, sebab mereka dipastikan bisa bercocok tanam kembali. Namun, tidak demikian dengan para pengguna jalan yang melintas di kawasan Puncak-Cipanas. Ruas jalan di Kampung dan Desa Ciloto, Kec. Cipanas Kab. Cianjur, Minggu (4/2) sekira pukul 4.30 WIB terputus akibat tanah longsor.
Ambruknya tebing jalan persis di depan Rumah Makan Bumi Aki tersebut, membuat arus lalu lintas Jalan Raya Cipanas-Puncak lumpuh sekira enam km. Pasalnya badan jalan sepanjang 12 meter, tertutup longsor tanah berasal dari tebing dengan ketinggian sekira satu meter. Arus lalu lintas dari arah Bandung menuju Kab. Bogor sempat dialihkan melalui jalur Jogol dan Sukabumi.
Bencana tersebut merupakan peristiwa yang ke sekian kalinya yang terjadi di Kab. Cianjur. Sebelumnya, bencana banjir dan longsor pun terjadi di beberapa daerah. Itu sebabnya, Satkorlak Penanganan Bencana dan Pengungsi (PBP) Cianjur sempat menetapkan Kab. Cianjur sebagai "Siaga I Bencana Alam". Pernyataan itu dikemukakan Ketua Satkorlak PBP, Dadang Sufianto, beberapa pekan silam. Menurut Dadang, status tersebut diberlakukan menyusul buruknya cuaca yang mengakibatkan bencana longsor dan tanah amblas di beberapa daerah di Kabupaten Cianjur. Dari 30 Kecamatan di Kab. Cianjur, 15 di antaranya termasuk wilayah kerentanan gerakan tanah dengan potensi terjadi bencana cukup besar. Data itu, jelas Dadang, diperoleh berdasarkan keterangan tertulis dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).
Mengenai bencana longsor di Puncak, menjadi perhatian karena wilayah tersebut merupakan kawasan konservasi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang Nasional serta Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997 tentang Ranca-ngan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional. Peristiwa tersebut juga diindikasikan bahwa pengelolaan masterplan kawasan tersebut tidak dilakukan secara maksimal sehingga berdampak pada banjir di Jakarta.
Namun, hal tersebut dibantah Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kab. Cianjur Maskana Sumitra. Menurut Maskana, Pemerintah Kab. Cianjur telah melaksanakan penataan ruang di kawasan Puncak sesuai dengan masterplan yang tertuang dalam Tata Ruang Nasional dan kawasan terpadu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur). Maskana menegaskan, fungsi Kab. Cianjur sebagai daerah penyangga Ibukota Jakarta sesuai dengan Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997 tentang Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional.
"Fungsi kawasan Puncak sebagai kawasan tertentu adalah menjadi kawasan yang memiliki nilai strategis dan kawasan unggulan di bidang pariwisata dan pertanian," ujar Maskana, Selasa (6/2). Menurut Maskana, bencana alam di kawasan Puncak dan sekitarnya, terjadi lantaran faktor alam. "Kalau masalah yang menyangkut siteplan tata ruang, kami sudah melaksanakannya sesuai aturan," katanya.
Maskana menambahkan, selain mengacu pada UU No. 24/1992 dan PP No. 47/1997, selama ini pengelolaan kawasan Puncak mengacu pada aturan dalam Keputusan Presiden Nomor 114 tahun 1997 tentang kawasan konservasi dan kawasan tertentu Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur). "Meskipun Keppres No. 114/1997 sedang dalam revisi, selama peraturan yang menggantinya belum ada, kita tetap mengacu pada aturan tersebut," kata Maskana.
Terkait dengan tudingan pihak Jakarta soal penyebab bencana banjir, Maskana berkilah bahwa kawasan Puncak di wilayah Kabupaten Cianjur tidak termasuk ke bagian daerah aliran su-ngai (DAS) Ciliwung dan Cisadane. "Resapan air lebih mengarah ke bagian timur ke bagian DAS Ciraden dan Citarum," ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, pengelolaan kawasan Puncak pun telah tertuang dalam Rancangan Umum Tata Ruang (RUTR) Kabupaten Cianjur tahun 2005-2015 yang dikeluarkan Bappeda meliputi kawasan tertentu di kecamatan-kecamatan yang berlokasi di bagian utara Kabupaten Cianjur, meliputi Kecamatan Pacet, Cipanas, Sukaresmi, Cugenang, Warungkondang, Cianjur Kota, Cikalongkulon, Sukaluyu, Mande, Ciranjang, dan Bojongpicung.
Menyangkut banyaknya bangunan di kawasan Puncak, menurut Maskana, semua telah sesuai aturan meliputi kawasan konservasi dan kawasan andalan. "Ada beberapa lokasi yang memang tidak boleh dibangun, tapi ada kawasan andalan pariwisata dan pertanian yang diperbolehkan. Yang benar-benar tidak boleh adalah kawasan industri," kata Maskana menjelaskan.
Menurut Sutiyoso (Guebrnur DKI. Jakarta), banjir yang terjadi di DKI Jakarta disebabkan oleh tiga faktor, yakni meluapnya sungai (13 sungai yang ada), tak mampunya situ (danau buatan) menampung air hujan di daerah yang berada di bawah permukaan air laut (40% wilayah DKI) serta karena pasangnya air laut.


BAB III
REHABILITASI DKI JAKARTA

”Ada tiga langkah strategis, pertama membangun Banjir Kanal Timur (BKT), kedua membangun folder untuk me-nampung air dan memompa ke sungai, dan ketiga reklamasi pantai,” kata Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, saat memapar--kan situasi banjir dan penanganannya di hadapan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengunjungi ”crisis center” di Balai Kota DKI Jakarta, Minggu (4/2)
Di wilayah DKI, kata Sutiyoso, ada 13 sungai yang melewati wilayah DKI, dan ber-muara di pantai utara. Juga ada 200 situ yang harus ditingkatkan kapasitasnya.
Kini, salah satu cara untuk mengurangi dampak banjir de-ngan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT). ”Kalau BKT selesai ada lima sungai yang akan bisa kita kendalikan, dan 20% potensi banjir DKI bisa kita kendalikan,” kata Sutiyoso.
Banjir yang terjadi tiap tahun dan kini terparah di Jakarta, juga disebabkan karena tidak adanya badan yang memiliki kewenang¬an khusus menata kawa-san Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Gubernur DKI, Sutiyoso yakin, terbentuknya Me-gapolitan Jakarta, masalah banjir akan bisa teratasi.
”Banjir di DKI itu kan siklus tahunan dan berulang. Karena itu, saya usulkan konsep Megapolitan Jakarta untuk menanggulangi berbagai masalah di Jakarta, tidak hanya banjir,” katanya.

Sebuah Solusi Alternatif
Ketika bayang-bayang banjir masih menghantui banyak warga Jakarta, beberapa kearifan ilmiah dapat dipetik dari peristiwa yang amat menyesakkan dada ini. Kearifan yang dimaksud terkait dengan potensi beberapa disiplin ilmu yang relevan dengan musibah banjir, tetapi kurang diapresiasi. Ilmu-ilmu ini sesungguhnya telah dikenal tidak saja di kalangan masyarakat, tetapi juga di kalangan para pengambil keputusan, namun masih sering dilupakan dalam kehidupan sehari-hari, yang akibatnya lalu terjadi berbagai bencana, termasuk banjir.
Yang pertama tentu saja soal-soal cuaca. Dalam hal ini, media massa perlu memperbanyak dan mempersering menerbitkan laporan tentang ilmu cuaca agar masyarakat semakin terbiasa. Di dunia internet, The Franklin Institute, misalnya, punya situs yang secara komprehensif menyediakan berbagai info tentang cuaca yang bisa digunakan oleh pelajar, mahasiswa, pendidik, pemimpin, dan mitra kerja sama.
Di situs itu pula terdapat pameran tentang gejala alam El Nino, juga pemantauan Bumi (Earth Watch), weather on demand, peta cuaca, Pusat Hurricane Nasional. Selain itu, ada pula info latar belakang, antara lain tentang angin, kilat, tornado, suhu, dan pelangi. Sementara itu, untuk menghadapi cuaca buruk (severe weather), dimuat pula petunjuk keselamatan ketika menghadapi tornado, kilat, dan hurricane.
Dalam kaitan ini pula, pemahaman akan ilmu yang lebih luas dari ilmu cuaca, yakni meteorologi, juga semakin dirasakan relevan. Adanya BMG yang secara teratur memberikan prakiraan dan analisis cuaca terasa betul amat membantu, dan ke depan peranannya akan semakin besar. Oleh sebab itu, di negara dengan wilayah geografis besar dan unik, lembaga seperti BMG patut terus dikembangkan, dilengkapi sarana dan prasarananya dengan teknologi canggih, untuk mendukung aktivitasnya sehingga menghasilkan prakiraan cuaca yang lebih akurat dari waktu ke waktu.
Sekadar mengingatkan kembali, meteorologi adalah studi mengenai gerakan dan interaksi kompleks atmosfer, termasuk pengamatan gejala seperti suhu, angin, awan, dan penguapan. Atmosfer bumi—dalam sejarahnya yang panjang—telah mengalami rangkaian perubahan, misalnya saja karena sejumlah letusan gunung api besar telah menyemburkan abu dan debu ke atmosfer yang menyebabkan terjadinya pendinginan periodik iklim.
Kebutuhan untuk semakin mendalami ilmu cuaca, meteorologi, dan juga klimatologi, semakin mendesak justru ketika dewasa ini berbagai peristiwa memperlihatkan bahwa gejala pemanasan global semakin nyata. Kenyataan ini terakhir dikukuhkan dalam Sidang Panel Perubahan Iklim Antarpemerintah (IPCC) pekan lalu di Paris. Di antara fenomena alam yang diyakini akan terjadi adalah meningkatnya frekuensi gelombang panas dan hujan lebat. Tudung es kutub akan menciut; taifun dan hurricane akan menurun jumlahnya, tapi makin kuat terjangannya. Bagaimana akan menghadapi perubahan iklim seperti itu kalau untuk menghadapi yang ada sekarang ini saja sudah kedodoran?

Perencanaan kota
Ilmu perencanaan tata kota dan wilayah dikenal sebagai Planologi, dan disiplin ini sudah mulai menjadi satu pendidikan sejak hampir 50 tahun silam. Tahun 2004 diselenggarakan peringatan 45 tahun pendidikan planologi di Indonesia di ITB. Selain ITB, pendidikan planologi kini juga telah ada di sejumlah perguruan tinggi lain.
Perkembangan dan dinamisme perkotaan serta wilayah pada satu sisi tak bisa dihindari karena berbagai faktor, seperti jumlah penduduk yang terus bertambah dan ekonomi yang terus tumbuh. Namun, hukum perencanaan harus tetap ditaati, dan sebagaimana disiplin-disiplin lain, planologi jelas ilmu yang memberi pedoman tentang bagaimana ruang harus diatur, selain demi kemaslahatan manusia, juga agar harmoni dengan alam dapat terus dipertahankan.
Bagaimana sebaiknya lokasi industri harus ditetapkan, di mana sebaiknya untuk pertanian, bagaimana kebutuhan ideal warga bisa ditopang dengan baik oleh alam, mana kawasan hijau yang harus dipertahankan, itu antara lain wilayah planologi. Tetapi, masuk juga di dalamnya bagaimana perencanaan jalan, perumahan, sistem drainase, dan fasilitas umum lainnya.
Sebagai satu ilmu, planologi tak perlu diragukan. Munculnya istilah "daerah peruntukan" (bisa untuk perumahan atau daerah resapan) menjadi salah satu wujud upaya menata kota dan wilayah. Sayangnya setelah eksis hampir lima dekade, tidak sedikit pihak yang masih sering bertanya, "Di manakah planologi?" Misalnya ketika melihat kota-kota besar di Indonesia yang diandaikan bisa tumbuh baik dengan dukungan ilmu ini, dalam kenyataannya justru sering acak-acakan.
Tetapi, para planolog tak perlu kecil hati karena ilmu yang mereka pelajari tetap hal penting dan benar. Yang dibutuhkan adalah komitmen untuk menerapkannya secara konsekuen oleh otoritas pemerintahan, di daerah maupun di pusat.

Ilmu-ilmu yang menerangi
Ilmu cuaca, ilmu lingkungan, dan ilmu planologi jelas ilmu-ilmu yang apabila diikuti dengan penuh disiplin, besar artinya dalam upaya pencegahan banjir. Dengan memahami cuaca lebih baik, para birokrat bisa membantu masyarakat dalam merencanakan aktivitas mereka, juga membantu pemerintah dalam membangun infrastruktur dan persiapan menghadapi keadaan darurat bencana. Pada sisi lain, memahami ilmu lingkungan baik untuk meningkatkan kesadaran agar senantiasa hidup harmonis dengan alam, tidak merusaknya. Sementara dengan planologi bisa diperoleh perencanaan dan penataan kota serta wilayah yang tidak saja baik bagi warga, tetapi juga selaras dengan alam.
Ilmu-ilmu tersebut telah lama hidup di negeri ini dan banyak dipelajari. Ada keyakinan kalau ilmu-ilmu tersebut diterapkan dengan baik, Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia tak perlu sengsara setiap kali mengalami banjir dahsyat. Sebaliknya juga diyakini, kalau ilmu-ilmu tersebut diabaikan, tidak menerangi mereka yang duduk di pemerintahan, bencanalah yang akan menjelang.
Kini, sambil menunggu hujan reda dan mendung pergi, ulurkan tangan ke para korban banjir. Jangan khawatir, "Post Nubila Jubila", setelah mendung, ada kegembiraan.

Pendekatan ekologis
Persoalan banjir di Jakarta tidak bisa ditangani secara sepihak dan parsial, namun harus dengan pendekatan sistem ekologis (ekosistem) dan humanis. Pendekatan itu bisa teraplikasi dengan membangun kesepahaman dan kerja sama antara masyarakat dan pemerintah daerah hulu (Bogor-Puncak-Cianjur/Bopuncur) dan hilir (Jakarta).
Pendekatan ekosistem berarti melihat sebab dan akibat banjir dalam satu kesatuan ruang ekologi dengan menghilangkan sekat administrasi, politik, sosial, dan ekonomi. Ekosistem Jakarta adalah satu ruang dengan ekosistem Bopuncur, sehingga saling bergantung dan memengaruhi. Penataan ruang di hilir tidak akan bisa cukup menyelesaikan masalah jika tidak disertai dengan penatan ruang di kawasan hulu.
Persoalan kerusakan lingkungan di hulu adalah akibat dari tuntutan ekonomi yang dilegitimasi oleh keputusan politik untuk menambah pundi-pundi pendapatan asli daerah. Laju konversi lahan hijau di kawasan hulu menjadi kawasan perumahan mencapai sekitar 10 ribu hektare setiap tahun. Era otonomi mendorong semua pemerintahan di daerah untuk berlomba-lomba mengenjot pendapatan setinggi mungkin dengan mengabaikan keseimbangan ekologi. Padahal daerah hulu mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting. Wacana untuk menerapkan kebijakan insentif-disinsentif dan kompensasi dari daerah hilir ke daerah hulu menjadi sangat relevan untuk segera diterapkan.
Kebijakan insentif bertujuan untuk merangsang pihak tertentu untuk melakukan sesuatu yang diinginkan dan disinsentif adalah kebalikannya, yaitu menjauhkan perilaku yang tidak diinginkan. Insentif dapat berupa reward untuk pihak yang menjalankan kegiatan pelestarian lingkungan. Disinsentif dapat berupa denda, sanksi, maupun hukuman yang bisa menimbulkan efek jera bagi perusak lingkungan. Sedangkan kompensasi adalah besaran moneter maupun non-moneter yang diberikan pada pihak yang telah melestarikan lingkungan sehingga memberikan dampak positif bagi sebagian besar masyarakat.
Jika daerah hulu bersedia atau diharuskan untuk mengalokasikan sekian persen daerahnya sebagai wilayah ekologis, yang berarti akan mengontrol secara ketat pembangunan ekonominya sehingga berdampak pada pendapatan, daerah hilir mesti memberikan insentif dan kompensasi yang layak. Insentif dan kompensasi ini harus setara dengan pengorbanan ekonomi dan sosial yang telah dilakukan oleh daerah hulu dan cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum bagi masyarakatnya. Sedangkan disinsentif diterapkan bagi daerah hulu maupun hilir yang tidak mengindahkan kebijakan untuk melestarikan lingkungan.

Pendekatan humanis
Pendekatan ekosistem harus paralel dengan pendekatan humanis. Kebijakan insentif dan kompensasi adalah juga salah satu manifestasi dari pendekatan yang humanis. Bahwa masyarakat yang hidup di kawasan hulu mempunyai hak yang sama untuk hidup secara sejahtera dan berkecukupan, seperti mereka yang hidup di hilir. Insentif dan kompensasi adalah upaya untuk membuat kesejahteraan masyarakat di hulu meningkat dengan tidak melihat upaya melestarikan lingkungan sebagai sebuah paksaan.
Isu lain, masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dianggap sebagai salah satu penyebab meluapnya air, karena terjadi penyempitan alur sungai. Mereka yang tinggal di bantaran bukanlah sebuah pilihan, namun karena kemiskinan. Relokasi mereka dari bantaran sungai harus diikuti dengan pemberikan alternatif permukiman yang permanen, murah, dan sehat. Hal ini juga terkait dengan isu ketidakadilan, di mana mereka yang kaya dapat dengan mudah menguasai tanah dan mengubah tata ruang, sedangkan yang miskin selalu disalahkan oleh pemerintah.
Pendekatan humanis juga akan mendorong partisipasi publik dalam kebijakan penanganan banjir, karena banjir tidak mengenal strata sosial, ekonomi, dan politik. Kejadian banjir kali ini menegaskan bahwa semua kalangan menjadikan banjir sebagai ancaman bersama dan melestarikan lingkungan adalah sebuah tuntutan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.

Teknologi Biopori
Sebagai salah satu upaya mengatasi banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya setiap tahun, Institut Pertanian Bogor (IPB) memperkenalkan teknologi lubang serapan biopori yang relatif mudah diaplikasikan mulai dari skala rumahtangga hingga skala lebih luas. Teknologi ini bisa diaplikasikan di kawasan perumahan yang 100 persen kedap air atau sama sekali tidak ada tanah terbuka maupun di areal persawahan yang berlokasi di kawasan perbukitan, kata dosen Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Ir. Kamir R Brata MS di Bogor, Selasa.
Prinsip dari teknologi ini adalah menghindari air hujan mengalir ke daerah yang lebih rendah dan membiarkannya terserap ke dalam tanah melalui lubang resapan tersebut. "Selama ini yang menjadi salah satu faktor penyebab banjir adalah air hujan yang mengguyur wilayah hulu tidak bisa diserap dengan baik karena berkurangnya pepohonan dan banyaknya bangunan, sehingga wilayah hilir kebanjiran," kata dia. Dinamakan teknologi biopori atau mulsa vertikal karena teknologi ini mengandalkan jasa hewan-hewan tanah seperti cacing dan rayap untuk membentuk pori-pori alami dalam tanah, dengan bantuan sampah organik, sehingga air bisa terserap dan struktur tanah diperbaiki.
"Cara ini disamping membantu mengatasi masalah sampah perkotaan, juga diharapkan menjadi solusi atas bencana banjir yang selalu melanda Jakarta," kata Kamir. Di kawasan perumahan yang 100 persen kedap air, teknologi lubang serapan biopori ini diterapkan dengan membuat lubang di saluran air ataupun di areal yang sudah terlanjur diperkeras dengan semen dengan alat bor. Kemudian ke dalam lubang berdiameter 10 cm dengan kedalaman 80 cm atau maksimal satu meter tersebut, dimasukkan sampah organik yang bisa berupa daun atau ranting kering serta sampah rumahtangga.
Keberadaan sampah organik ini berfungsi untuk membantu menghidupkan cacing tanah dan rayap yang nantinya akan membuat biopori. Di saluran air, lubang serapan ini bisa dibuat setiap satu meter dan pada ujung saluran dibuat bendungan sehingga air tidak lagi mengalir ke hilir namun diserap sebanyak-banyaknya ke dalam lubang. "Tidak perlu khawatir sampah organik akan meluap karena air akan begitu cepat terserap ke dalam lubang. Begitu pun tidak ada bau yang ditimbulkan dari sampah karena terjadi proses pembusukan secara organik," ujarnya.
Penyerapan air ini juga tidak akan merusak pondasi bangunan karena air meresap secara merata. Teknologi ini juga bisa diterapkan di rumah-rumah yang memiliki lahan terbuka. "Saya sudah membuktikan, dengan membuat lubang-lubang semacam ini di dekat pohon, pohon menjadi semakin subur," kata dia. Sementara itu, untuk kawasan persawahan di lahan miring, sebaiknya ditanami dengan padi gogo yang tidak membutuhkan banyak air. Air justru diserapkan ke dalam tanah dengan cara diberi serasah di dasar saluran atau dengan membuat cekungan berisi serasah. Prinsip ini sama dengan lubang serapan yang diisi dengan sampah organik. "Jangan khawatir ada tikus atau ular karena cekungan ini akan selalu tergenang air," kata Kamir.
Lebih lanjut ia menegaskan, aplikasi teknologi tepat guna ini memerlukan dukungan masyarakat untuk mengubah kebiasaan mencampur sampah organik dan anorganik. Diperlukan keterlibatan masyarakat secara luas, dari wilayah hulu hingga hilir, sehingga teknologi ini bisa dirasakan manfaatnya untuk mengatasi banjir, kata Kamir.

BAB IV
PASCA BANJIR

Selama hampir sepekan, Jakarta lumpuh akibat banjir. Selain menelan korban jiwa dan menyebabkan ratusan ribu warga mengungsi, banjir di Jakarta berdampak sangat serius terhadap perekonomian. Pasokan barang dari dan ke ibu kota terganggu akibat putusnya arus lalu lintas. Tidak ada solusi komprehensif yang dilakukan pemerintah, baik Pemprov DKI maupun pemerintah pusat, kecuali menunggu air surut dan menangani korban banjir secara parsial.
Salah satu dampak banjir yang hampir bisa dipastikan adalah lonjakan harga-harga barang. Estimasi pemerintah, harga barang bisa naik hingga 20 persen pada Februari. Ini dengan asumsi bahwa pasokan bisa tetap dilakukan di tengah banjir. Jika pasokan benar-benar terputus, kenaikan harga barang bisa lebih tinggi. Sektor transportasi juga memberikan kontribusi inflasi signifikan mengingat putusnya jalur-jalur utama di Jakarta. Apalagi pasokan BBM (bahan bakar minyak) juga tersendat.
Kondisi makroekonomi Indonesia yang membaik pada paro pertama 2007 ini dihadang bencana banjir yang tidak diduga sebelumnya. Jika harga barang naik, stabilitas makro yang ditandai dengan terus turunnya suku bunga dan stabilnya nilai tukar rupiah bisa jadi berbalik arah. Meskipun banjir itu hanya terjadi di Jakarta dan sekitarnya, dengan model ekonomi yang sentralistik, dampak ekonominya bisa berskala nasional. Memang inflasi itu temporer, namun kenaikan harga barang akibat banjir bisa dimanfaatkan spekulan sehingga tingginya harga bertahan dalam waktu lebih lama.
Konsentrasi pemerintah untuk menata ekonomi 2007 dengan lebih baik sedikit banyak terganggu oleh banjir besar Jakarta itu. Pemerintah pusat dan Pemprov DKI pun akan mengalokasikan anggaran khusus untuk mengatasi dampak banjir tersebut. Belum lagi, tuntutan agar ada program yang lebih sistematis untuk mengatasi banjir di ibu kota. Inilah yang dikhawatirkan akan mengalihkan perhatian pemerintah dari upaya menangani masalah yang lebih besar seperti program pengentasan kemiskinan dan pengangguran.
Dampak banjir terhadap ekonomi bukan hanya melonjaknya angka inflasi. Dampak yang langsung terasa adalah merosotnya transaksi di dunia perbankan, pasar modal, dan sektor riil. Hingga kemarin, tak ada aktivitas warga Jakarta yang bisa dibilang sudah seratus persen normal. Warga Jakarta masih asyik memperbincangkan banjir daripada memulai rutinitas bisnis mereka.
Banjir Jakarta adalah contoh amburadulnya manajemen tata kota di Indonesia. Tidak ada kota besar di Indonesia yang bebas dari ancaman banjir. Selain Jakarta, Surabaya termasuk langganan banjir. Hidup dalam penderitaan seperti ini seperti menjadi "kegembiraan" tersendiri bagi warga maupun pemerintah.
Banjir Jakarta tidak bisa dipandang sebagai persoalan warga Jakarta an sich. Tetapi, itu sudah menjadi problem nasional yang membutuhkan pemecahan lebih komprehensif dan integral. Pemprov DKI dan pemerintah pusat perlu duduk bersama sehingga banjir seperti itu tidak terulang lagi pada masa mendatang.