Tuesday, June 24, 2008

TAJDID GERAKAN IMM; MERETAS JALAN MENUJU PERUBAHAN

Oleh: Cecep Suyudi M
(Ketua Umum PC IMM Ciputat 2007-2008)

Diskursus tentang peranan dan kontribusi gerakan mahasiswa (student movement) dalam proses pendewasan bangsa ini sudah lama menjadi isu sentral dalam berbagai kesempatan. Banyak sekali forum-forum diskusi diadakan untuk memperbincangkan tema tersebut. Ada yang mengapresiasi dan ada pula yang menghujat. Selama ini, gerakan mahasiswa selalau aktif, terutama kepeduliannya dalam merespon setiap persoalan sosial-politik yang terjadi dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Terlebih lagi ketika terjadi praktik-praktik ketidak-adilan, ketimpangan sosial, pembodohan, dan penindasan terhadap hak-hak rakyat yang sudah tidak dapat ditolelir.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di usianya yang sudah dibilang dewasa, dalam pergulatannya dengan pergerakan Mahasiswa dan masyarakat, mengharuskan kepada semua elemen yang ada didalammnya untuk terus tanpa henti dalam mensejajarkan antara wilayah yang dimensinya berbeda akan tetapi saling mengikat, menguatkan dan berkesinambungan, yaitu pencerahan-pengkayaan fikir (refleksi) dengan dimensi praksis gerakan (aksi). Mengapa demikian? karena selama ini IMM secara epistimologis telah mendasarkan dirinya pada sebuah paradigma gerakan yang berdimensi integralistik, yang tidak merasa cukup-kalau tidak boleh dikatakan puas- hanya memprioritaskan pada satu dimensi dengan meniadakan yang lain, melainkan selalu memadukan keduanya dalam bingkai terminologi ilmu amaliah dan amal ilmiah. Namun perlu disadari lebih lanjut bahwa apa yang telah dilakukan selama ini akan sia-sia dan tidak mendatangkan keberkahan dari Allah, apabila tanpa dilandasi dengan semangat keImanan (ihlas-ridlo). KH.A. Dahlan pernah mengajarkan pada para santrinya tentang arti penting iman-ilmu-amal, yang berbunyi :”Pada hakekatnya setiap insan pasti akan mati, kecuali meraka yang berilmu. Orang yang berilmu akan bingung, kecuali mereka yang beramal. Orang yang beramal akan sia-sia, kecuali mereka yang ihlas.” Maka sudah sepantasnya, seandainya kemudian seluruh gerak dan aktifitas IMM, merupakan implementasi atas pemahaman terminologi iman-ilmu-amal, yang diajarkan beliau.
Tulisan ini muncul, dengan harapan tidak semakin menenggelamkan nalar kritis aktifis-IMM, untuk selalu “secara konsisten” melakukan dekonstruksi paradigma gerakan (refleksi-aksi), dalam rangka ijtihad pembaharuan pada konteks situasinya dan pergumulan dengan tema-tema zaman. Demikian juga tidak bermaksud membatasi ruang gerak aktifis-IMM untuk mengekspresikan diri (pikiran-bahasa), mencari dan menangkap tema-tema zaman tersebut, karena penulis sadar bahwa dalam sebuah tata nilai kebenaran manusia meniscayakan adanya absolutisme konteks dan mengesahkan keberadaan relatifisme konteks. Maka disini akan kita coba untuk melihat kembali sejauh mana aktifitas yang dilakukan IMM pada konteks gerakan intelektual.
Antonio gramsci dalam pokok pembahasannya seputar keterlibatan komunitas intelektual dalam upaya melakukan counter hegemoni atas bentuk hegemoni penguasa (Mussolini), dan membebaskan kaum tertindas (mustadh’afin) oleh kesewenang-wenangan kaum penindas (mustakbirin), membagi intelektual dalam dua wilayah yang berbeda yaitu intelektual tradisional (teori) dan intelektual organic (mendialogkan dengan realitas sosial). Secara gamblang diuraikan gramsci selanjutnya bahwa intelektual organic adalah intelektual yang secara sadar dan mampu menghubungkan teori dengan realitas sosial yang ada. Intelektual yang memiliki kemampuan sebagai organisator (memobilisasi massa) yang sadar terhadap identitas yang diwakili dan mewakili. Sementara intelektual tradisional adalah intelektual yang hanya berkutat pada tataran teoritik semata tanpa mampu membumikian torinya untuk didialogkan dengan realitas sosial. Terlepas dari konteks sejarah pada saat gramsci merumuskan ide-ide revolusionernya, distingsi tentang intelektual tradisional dan intelektual organic tetap relevan untuk dijadikan dasar analisis pada konteks zaman dan komunitas kita saat ini (IMM). Jadi dengan demikian secara implisit, dalam perspektif gramscian, IMM adalah salah satu dari sekian banyak komunitas intelektual yang dicita-citakan gramsci mampu membangun kesadaran pada tingkat basis massa masyarakat dan melakukan counter hegemoni terhadap struktur sosial yang menindas.

Terapi Intelektualitas
“Seorang aktivis yang tidak punya basis intelektual akan layu sebelum berkembang.” Hal inilah yang selalu melandasi IMM dalam gerakannya yang terus berusaha untuk tidak meninggalkan three kompetensi IMM; tertib ibadah, tertib study serta tertib organisasi. IMM sebagai basis mahasiswa dilingkungan warga Muhammadiyah yang selalu mengedepankan selogan IMM; anggun dalam moralitas unggul dalam intelektualitas serta progressive dalam gerakan, harus selalu istiqamah pada khittah awal mahasiswa adalah sebagai bagian dari golongan intelektual dalam pergerakan social keagamaan serta budaya. Kader ikatan paling tidak harus memiliki dua kemampuan dasar, yaitu kemampuan menulis serta research. Hal ini berarti kader ikatan harus mampu memproduksi atau menghasilkan karya baik artikel, buku maupun hasil penelitian ilmiah. Lalu kemudian, tradisi menulis ilmiah yang selama ini hampir merosot harus tetap dikembangkan dan harus terus diperjuangkan untuk menjaga konsistensi intelektualitas yang menjadi ciri khas Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

Terapi Organisatoris
Ketika seorang kader menjadi pionir dalam sebuah organisasi maka peranannya akan sangat dibutuhkan demi kemajuan organisasi tersebut. Sumbangsih pemikirannya menjadi pilar yang mamperkokoh ketangguhan dari organisasinya. Namun seringkali kita menemukan fenomena dalam berorganisasi yang justru mereka yang menjadi pionir-pionir terdepan organisasi itu hengkang dan lari tanggung jawab yang seharusnya dia emban sebagai amanah dan perjuangan tanpa sempat mewariskan nilai-nilai positif pada generasi-generasi selanjutnya. Ia tidak sadar bahwa sebelumnya ia belajar, berlatih dan mengasah kemampuannya dalam organisasi tersebut. Seperti anak ayam melupakan induknya. Tidaklah mudah menjadi calon kader yang mempunyai kemampuan untuk menjadi seorang pionir organisasi. Hal itu terbukti ketika para remaja, pemuda sebagai penerus bangsa hanya mengutamakan style daripada otak, dan mereka lebih menyukai hal-hal yang bersifat hura-hura. Permasalah-permasalahan inilah yang harus segera dijawab oleh sebuah organisasi terutama oleh IMM yang merupakan kepanjangan tangan dari Muhammadiyah yang bergerak dalam ruanga lingkup mahasiswa yang seharusnya selalu mengedepankan intelektual sebagai basis pergerakannya. Tidakalah mudah bagi sebuah organisasi untuk tetap bergerak aktif tanpa didukung oleh kader unggulan yang dimilikinya. Kelangsungan dan kelanggengan organisasi tidak dapat dilepaskan dari adanya kader yang loyal terhadap organisasi dimana ia bernaung. Kader-kader inilah yang nantinya diharapkan dapat melanjutkan laju organisasi dengan lebih baik dibanding sebelumnya. Namun pada kenyataannya kader-kader yang mampu untuk mengemban tugas organisatoris dengan baik tidak dapat tercipta begitu saja. Diperlukan sebuah proses yang berkesinambungan untuk mencapai kearah sana. Namun yang jadi permasalahan adalah bagaimana membentuk kader-kader yang loyal sehingga mampu bertindak secara militan bagi organisasinya.
Tentunya untuk melaju kearah sana diperlukan usaha yang tidak mudah serta optimal. Sebagai sebuah organisasi yang sedang menggeliat untuk mengembalikan kembali semangat dalam bergerak maka kita sebagai seorang kader ikatan harus lebih membangun kembali kesadaran dan pemahaman terhadap visi dan misi ikatan dalam rangka mencapai tujuannya yaitu “menguasahakan terbentuknya akademisi islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah.”

Memajukan Gerakan
IMM memiliki keunikan tersendiri dalam model gerakannya. Tri kompetensi Dasar merupakan tiga kompetensi fundamental yang wajib dimiliki oleh setiap kader yang meliputi dimensi religiusitas, interlektualitas dan humanitas. Sejalan dengan dimensi diatas, IMM juga memiliki prinsip-prinsip gerakan yang tercermin dalam beberapa deklarasi. Deklarasi yang lahir diantaranya: deklarasi kota Solo yang salah satu poinnya menyatakan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa; Deklarasi Garut yang kembali menegaskan tentang strategi dasar untuk pembinaan organisasi yang meliputi kaderisasi, Kristalisasi dan Konsolidasi; Deklarasi Baiturrahman (Semarang) yang pada kalimat penutupnya tertulis "kami generasi awal yang telah mengantar kelahiran dan perjalanan hidup ikatan sampai hari ini dan generasi penerus yang kini memegang pimpinan kembali ikatan senantiasa bertekad untuk mengemban amanah perjuangan ini demi kelangsungan peran dan fungsi ikatandalam masyarakat yang selalu berubah dan berkembang" ; Deklarasi kota Malang-Manifesto Kader Progresif, salah satu tekad yang sangat menyentuh adalah sumpah kader Pelopor-Progresif.
Militansi seorang kader dalam berorganisasi dapat diukur dari seberapa jauh yang bersangkutan menunjukan kesungguhan, sikap, dan kiprahnya secara optimal dalam memajukan gerakan kearah yang lebih baik. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai salah satu ortom Muhammadiyah yang dikenal mempunyai visi dan misi dalam memajukan tradisi ilmiah telah menunjukan sukses yang luar biasa dengan melahirkan banyak tokoh-tokoh nasional. Kesuksesan tersebut merupakan akumulasi dan sinergi dari seluruh kiprah kader ikatan disemua lini dalam mempersembahkan yang terbaik bagi ikatan dan persyarikatan.
Karenanya jika ada yang merasa memiliki militansi yang tinggi dalam berorganisasi di IMM, maka bagaimana yang bersangkutan benar-benar berkiprah dalam memajukan kualitas dan kuantitas kader. Tidak hanya menilai dan menuntut orang lain, tapi juga harus dibuktikan dengan tindakan yang membangun. Jangan sampai terjadi, ‘menuntut IMM maju’ tetapi kiprahnya masih terbagi-bagi pada hal lain yang tidak mendukung keberlangsungan eksistensi organisasi. Juga menjadi ironi, mengaku militant tetapi jumud dan tidak mau menunjukan sikap positif dalam melakukan pembaharuan gerakan yang berguna untuk keberlangsungan ikatan juga persyarikatan. Mari kita kerahkan seluruh militansi kita sebagai kader dan pimpinan dalam membesarkan, memajukan dan membawa gerakan ini kemasa depan yang lebih cerah serta memberi nilai dan fungsi yang rahmatan lil alamin bagi kehidupan masyarakat, umat dan bangsa.

HUMANISME DALAM ISLAM

Oleh: Cecep Suyudi M

Salah satu agenda penting yang menjadi inti dari ajaran islam adalah menyangkut persoalan kemanusiaan. Islam sebagaimana yang tertuang dalam kitabnya, sengat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Persoalan kemanusiaan akhir-akhir ini bukan hanya menarik untuk di tonton, tapi juga sangat menarik untuk dibicarakan. Pembicaraan ini dianggap penting mengingat problem perilaku manusia modern memerlukan pemecahan segera. Kadang-kadang menurut Kuntowijoyo (1991) kita merasa bahwa situasi yang penuh problematik di dunia modern ini justru disebabkan oleh perkembangan pemikiran manusia sendiri. Maka dengan melihat berbagai problem social, politik, ekonomi yang mengarah pada kehancuran martabat manusia, tentunya sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk memainkan peran dan pesan keagamaannya secara bersama untuk mencari jalan keluar yang bijak dan tepat.
Maka dalam rangka membumikan peran dan pesan keagamaan, umat islam harus mengurut pada sebuah perilaku solidaritas yang dibangun atas dasar kekerabatan atau persaudaraan yang diinginkan oleh Islam, perlu sebuah perbandingan antara kondisi empiris hubungan antara manusia sebelum Islam dan perkembangan bentuk dan ikatan persaudaraan yang kemudian diinginkan oleh Islam dalam berbagai ajaran normatifnya, Zuhairi Misrawi (2004).
Untuk itu Rafsanjani (2001), secara khusus menggarisbawahi, pada prinsipnya program paling dasar dalam ajaran Islam untuk membangun dunia adalah manusia bertakwa yang bermanfaat bagi masyarakatnya kapanpun dan di manapun. Orang baik dalam masyarakat adalah modal utama bagi kemakmuran hidupannya. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, yakni nafsu kebinatangan menguasai manusia, baik yang beragama Islam maupun lainnya, niscaya sulit untuk membangun tatanan berkeadilan dan berkeprikemanusiaan sebagai mana cita-cita al-Quran.
Landasan normatif persaudaraan antarumat manusia ini, biasanya diambil dari ayat al-Quran sendiri. Dari ajaran al-Quran, umat manusia seolah-olah disandarkan pada kenyataan bahwa keragaman dalam suku bangsa adalah sunnah Tuhan yang tidak bisa dipungkiri. Namun di dalam ayat al-Quran juga diterangkan bahwa kenyataan itu bukanlah alasan untuk bermusuh-musuhan, tapi justru untuk saling mengenal dan menjalin persaudaraan. Al-Quran seakan-akan ingin menegaskan bahwa keragaman dan fakta masyarakat yang plural, yang dijumpai manusia bukanlah alasan pembenar untuk saling melenyapkan dan menindas. Justru, dengan keragaman itulah manusia akan banyak memperoleh manfaat yang lebih besar.
Keragaman yang dibangun Tuhan dalam kosmologi kehidupan manusia ini tidak dimaksudkan untuk mensubordinatkan satu sama lain. Perbedaan tidak menunjukan kemuliaan satu di antara yang lainnya. Perbedaan itu juga tidak membedakan pandangan Tuhan atas semuanya. Tuhan melihat semuanya sama dan atas kesamaan itu, Tuhan hanya menginginkan sebuah pengabdian manusia dengan saling menyayangi satu sama lain. Yang membedakan kemudian bukan pada fakta perbedaannya itu sendiri, tetapi upaya manusia dalam membangun kualitas dirinya sendiri. Setiap orang memiliki potensi untuk berilmu dan bertaqwa, tetapi tidak setiap orang dapat melakukannya – kendati Tuhan telah memberikan pentunjuk-Nya kepada manusia.
Upaya untuk membangun manusia yang berkualitas dari sisi ilmu dan ketaqwaan inilah yang kemudian menciptakan derajat diri sehingga mendapat pujian Tuhan. Itulah kenapa Tuhan hanya membedakan manusia dari yang berilmu dan tidak, yang bertaqwa dengan yang tidak, bukan pada konteks perbedaan warna kulit, bahasa, suku bangsa, dan pemahaman keagamaan. Mengapa mesti ilmu? Ilmu adalah entitas penting dalam peradaban manusia untuk mencapai kemajuan zaman. Ilmulah yang dapat menjadikan manusia menjadi berharga sehingga dapat meningkatkan harkat derajatnya. Dalam komunitas sosial, kita akan menyaksikan secara kasat mata, mana komunitas masyarakat yang berilmu dan yang tidak. Setidaknya dari kualitas hidup dan tingkat kebersahajaannya. Ilmu pula yang kemudian dapat membuktikan berbagai rahasiah Tuhan di bumi ini. Karenanya, al-Quran dalam beberapa ayatnya menyebutkan diturunkan bagi orang yang berilmu, dalam ayat lain disebut bagi orang yang berakal, dan yang lainnya.
Mengapa pula manusia mesti betaqwa? Semakin manusia bertaqwa maka semakin dekat dirinya dengan Tuhan. Semakin dekat dirinya dengan Tuhan, berarti semakin mendekatkan sifatnya dengan sifat-sifat Tuhan. Dalam wacana inilah kemudian penting digaris bawahi bahwa keberadaan manusia di bumi ini sengaja diciptakan tuhan dengan berbagai keragaman, dengan maksud untuk semakin memperluas persaudaraan. Tidak mungkin misalnya orang yang bertaqwa sampai berani melakukan hal-hal negatif yang merugikan orang lain. Tidak ada dalam rumusnya bahwa orang bertaqwa dapat dengan membabi buta menghancurkan tempat ibadah orang lain hanya karena perbedaan paham. Mengapa demikian, sebab perbedaan paham merupakan bentuk keragaman lain yang harus dihormati bukan dibenci dan didolimi.
Dalam Islam ada sebuah praktek sederhana tetapi sesungguhnya memberi spirit perdamaian mendalam yang merupakan komitmen membangun solidaritas kemanusiaan yaitu konsep memberi salam. Dalam QS al-Nisa: 86 dijelaskan: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya atau balaslah penghormatan itu dengan yang sama.”

Penulis adalah Ketua Umum PC IMM Ciputat periode 2007-2008