Thursday, April 9, 2009

Pemimpin Pro Rakyat

Oleh: Cecep Suyudi M_Executive Directur Center for Study and youth Strategy (CSYS)
Dimuat di Harian Umum Pelita (16 April 2009)

Kepemimpinan dan kredibilitas tergantung pada hati, bukan hanya otak. Sepenggal ungkapan Barry Z. Posner, Penulis The Leadership Challage dan Credibility. Kedua hal tersebut seharusnya ada pada setiap pemimpin bangsa ini, punya Intelektualitas yang cerdas dan juga punya hati yang ikhlas untuk memimpin bangsa ini lepas dari berbagai permasalahan yang semakin kompleks. Dengan penyatuan dua hal tersebut tentunya akan mampu membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia menuju kesejakteraan umum, kecerdasan bangsa, dan keadilan sosial sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Karena itu, idealnya setiap era transisi demokrasi seharusnya mampu membentuk tatanan sistem yang lebih baik. Namun, keadaan yang terjadi sebaliknya, persoalan yang dihadapi oleh bangsa semakin kompleks. Solusi yang ditawarkan tidak sebanyak masalah yang dihasilkan. Proporsi yang tidak ideal ini menghantarkan rakyat Indonesia pada fase paling krusial sepanjang sejarah republik ini berdiri.
Penentuan masa depan Indonesia sebenarnya sudah bisa ditentukan bahkan sebelum dilaksanakan Pemilu 2009. Pernyataan ini benar adanya, saat melihat kapasitas, kualitas, dan integritas figur-figur yang mengklaim dirinya sebagai pemimpin yang layak memimpin bangsa ini besok. Walaupun dengan kemasan baru dan ‘lebih menjual’, wajah mereka sarat beban. Ada banyak janji-janji manis kampaye di masa lalu yang belum terealisasi. Begitu juga permasalahan yang pernah mereka tinggalkan saat berkiprah pada medan yang berbeda. Apakah figur seperti ini yang akan diberikan amanah mulia sebagai presiden Republik Indonesia?
Pertama, mulai hari ini, segenap elemen bangsa perlu meluruskan mindset tentang pemimpin. Karena pemimpin yang lebih banyak dibicarakan hanya sebatas kursi politik. Ada banyak dimensi kepemimpinan lain mulai dari tingkatan Ormas, kampus, militer, swasta, dan sebagainya. Hari ini, sepertinya domain kepemimpinan dihegemoni oleh Parpol, eksekutif, dan legislatif semata. Di luar jejaring itu, maka pemimpin seakan tidak ada. Dengan mindset yang lebih komprehensip, diharapkan perubahan tidak berjalan lambat. Karena masing-masing pihak akan lebih menyadari fungsi peran yang bisa dilakukan untuk menyongsong Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.
Kedua, bicara tentang pemimpin alternatif maka yang mesti dipastikan bagaimana figur yang menjadi subyek ini mampu mensejahterakan rakyat. Karena rakyatlah, pemimpin mendapat pengakuan dan legitimasi atas haknya untuk memimpin. Bila ia melupakan obyek kepemimpinannya maka secara otomatis rakyat berhak mencabut mandat. Mendorong agar setiap figur alternatif mampu memberikan kontribusi terbaiknya, maka prioritas yang harus dilakukan oleh rakyat adalah memilih sesuai nalar dan nurani ketika proses formal politik melalui Pemilu akan mereka jalani. Semua pihak akhirnya bertanggung jawab untuk melakukan pendidikan politik bagi masyarakat. Ini merupakan kewajiban moral yang mesti dijustifikasi oleh seluruh tokoh kultural dan keagamaan melalui fatwa atau pernyataan sikap untuk menghadirkan perubahan yang lebih konkrit. Secara otomatis, pemimpin yang dihasilkan oleh Pemilu akan ‘lebih terjamin’ dan mampu mengoptimalisasi sistem agar lebih sensitif, aspiratif, progresif dan kreatif sehingga mampu menuntaskan berbagai problematika bangsa.
Semua orang sudah jenuh dengan keterpurukan bangsa ini. Tidaklah mengherankan bila kata ‘perubahan’ menjadi senjata paling ampuh untuk menarik simpati masyarakat. Di benak kita, perubahan biasanya identik dengan barang baru dan harapan baru. Setiap kali anak sekolah masuk tahun ajaran baru, mereka juga berkeinginan bisa memperoleh baju, tas, sepatu dan buku baru. Begitu pula, bagi kita yang memulai sesuatu dari awal atau memulai kehidupan yang baru, rasanya lebih afdol dengan barang baru dan harapan baru.
Harapan bahwa Indonesia akan keluar dari keterpurukan mencuat. Diimpikan, dengan presiden baru, Indonesia bisa membenahi kembali kehidupan masyarakatnya yang masih memprihatinkan. Namun, kita juga perlu menyadari bahwa presiden baru tidak secara otomatis akan mencapai suatu perubahan ke arah yang lebih baik, tanpa dukungan segenap masyarakatnya. Walaupun tentu kita berharap, pergantian presiden akan memberi warna tersendiri dalam usaha mencapai cita-cita bangsa ini, yaitu masyarakat Indonesia yang adil makmur, demokratis dan dihargai oleh bangsa-bangsa lain.
Tahun 2009 merupakan tahun penentuan atau year of decision bagi rakyat Indonesia. Presiden dan wakil presiden yang terpilih nanti mendapatkan mandat baru dari rakyat serta mandat nasional harus benar-benar bisa menentukan masa depan bangsa.
Hal itu dikatakan Amien Rais, mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, dalam diskusi "Tegakkan Martabat Bangsa" di gedung DPR, Jakarta, Senin (12/1). Menurut dia, dalam menghadapi pemilu nanti rakyat punya pilihan dua jalan, yakni melanjutkan kepemimpinan yang sekarang atau perubahan.
Menurut Amien, kebijakan presiden selama ini hanya menawarkan kontinuitas yang hampir sama, yaitu kontinuitas sistem. Mereka tunduk kepada International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Mereka membuat kontrak yang lebih merugikan bangsa sendiri. "Mereka membuat UU Migas yang sebenarnya lebih menguntungkan kepentingan bangsa asing."
Amien mengatakan bangsa ini perlu alternatif. Alternatif itu bisa disiapkan oleh partai papan menengah yang bisa membentuk kepemimpinan nasional yang baru. "Sehingga kita bisa mengucapkan selamat tinggal untuk semua sistem yang sejak dulu mencederai Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945," katanya.
Menurut Amien, sesungguhya sistem ekonomi yang dipakai sejak zaman Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Soesilo Bambang Yudhoyono tidak cocok dengan Pasal 33 UUD. Munculnya pemimpin baru bisa menjadi harapan bagi bangsa. "Semoga pemimpin-pemimpin baru tersebut bisa mendapat simpati rakyat," katanya.
Sejarah bangsa ini telah lama membuktikan eksistensi dan esensi lahirnya pemimpin-pemimpin besar dan berpengaruh luas di kalangan masyarakat dunia. Sebut saja Soekarno, Hatta, Syahrir, Tjokroaminoto, Tan Malaka, Natsir dan sederet nama yang tidak begitu asing lainnya. Mereka menjadi ikon penting di zamannya masing-masing untuk mengeluarkan bangsa dari jeratan keterbelakangan. Mereka memiliki kapasitas kualitas, dan integritas sehingga mampu menerjemahkan visi dan misi kepemimpinannya dengan baik kepada rakyat. Optimisme harus kita hadirkan untuk membuktikan bahwa masa depan bangsa ini lebih baik dari masa lalunya. Optimisme adalah awal aksi kita untuk menginspirasi perubahan-perubahan kecil yang akan terakumulasi dalam gelombang besar perubahan sebenarnya.

IMM dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Sosial, Ekonomi dan Lingkungan

Oleh: Cecep Suyudi M*

Menurut Hendi (2005), pemberdayaan adalah suatu upaya untuk merubah suatu keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya yang dibangun berdasarkan potensi lokal.
Refleksi Kritis Pemberdayaan Masyarakat
Pada berbagai program pemberdayaan yang bersifat parsial, sektoral dan charity yang pernah dilakukan, sering menghadapi berbagai kondisi yang kurang menguntungkan. Misalnya salah sasaran, menumbuhkan ketergantungan masyarakat pada bantuan luar, terciptanya benih-benih fragmentasi sosial, dan melemahkan kapital sosial yang ada di masyarakat (dotong royong, musyawarah, keswadayaan, dll). Lemahnya kapital sosial pada gilirannya juga mendorong pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan dan kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara bersama.
Kondisi kapital sosial dan perilaku masyarakat yang melemah serta memudar tersebut salah satunya disebabkan oleh keputusan, kebijakan dan tindakan dari pengelola program pemberdayaan dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang selama ini cenderung tidak berorientasi pada masyarakat golongan ekonomi lemah, tidak adil, tidak transparan dan tidak ganggu gugat. Hal yang demikian akan menimbulkan kecurigaan, kebocoran, stereotype dan skeptisme di masyarakat akibat ketidak adilantersebut. Keputusan, kebijakan dan tindakan yang tidak adil inidapat terjadi pada situasi dan tatanan masyarakat yang belum madani, yang salah satu indikasinya dapat dilihat dari kondisi kelembagaan masyarakat yang belum berdaya, yang tidak berorientasi pada keadilan, tidak dikelola dengan jujur serta terbuka dan tidak berpihak dan memperjuangkan kepentingan masyarakat lemah.
Kelembagaan masyarakat yang belum berdaya tersebut pada dasarnya disebabkan oleh karakteristik lembaga masyarakat yang ada di masyarakat cenderung tidak mengakar dan tidak representatif. Disamping itu ditengarai bahwa berbagai lembaga masyarakat yang ada saat ini dalam beberapa hal lebih berorientasi pada kepentingan pihak luar masyarakat atau bahkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, sehingga mereka kurang memiliki komitmen dan kepedulian pada masyarakat yang dibawahnya. Dalam kondisi ini akan semakin mendalam krisis kepercayaan masyarakat pada berbagai lembaga masyarakat yang ada diwilayahnya. Kondisi kelembagaan masyarakat yang tidak mengakar tidak representatif dan tidak dipercaya tersebut pada umumnya tumbuh subur dalam situasi prialaku/sikap masyarakat yang belum berdaya. Ketidak berdayaan masyarakat dalam menyikapi dalam menyikapi situasi yang ada di lingkungannya, yang pada akhirnya mendorong sikap skeptisme, masa bodoh, tidak peduli, tidak percaya diri, mengandalkan bantuan pihak luar untuk mengatasi masalahnya, tidak mandiri, serta memudarnya orientasi moral dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu terutama keikhlasan, keadilan dan kejujuran.
Kemandirian lembaga masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka membangun lembaga masyarakat yang benar-benar mampu menjadi wadah perjuangan kaum ekonomi lemah, yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhan mereka dan mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik ditingkat lokal agar lebih berorientasi kepada masyarakat miskin dan mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governance), baik ditinjau dari aspek sosial, ekonomi maupun lingkungan, termasuk perumahan dan pemukiman.
Gambaran masyarakat seperti yang dimaksud di atas hanya akan dicapai apabila orang-orang yang diberi amanat sebagai pemimpin masyarakat tersebut merupakan kumpulan dari orang-orang yang peduli, memiliki komitmen kuat, ikhlas relawan dan jujur serta mau berkorban untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk mengambil keuntungan bagi pribadi maupun kelompoknya. Tentu saja hal ini bukan merupakan suatu hal yang mudah, karena upaya-upaya membangaun kepedualian, kerelawanan, komitmen tersebut pada dasarnya terkait erat dengan proses perubahan perilaku masyarakat.
Tercerabut dari Akar Paradigma
Ikatan mahasiswa Muhammadiyah sebagai sebuah lembaga kepanjangan tangan dari muhammadiyah dengan visi dan misi yang luhur serta mulian menjadi sebuah ikon penting untuk bergerak dan menjadi pundi perkaderan yang fundamental di tubuh mahasiswa sebagai poros penerus bangsa. Piet H. Khaidir pernah mengutarakan dalam sebuah seminar di Jogja bahwa IMM saat ini telah kehilangan ghirah pergerakan sebagaimana yang terbentuk pada gerakan masa awal, dan ini menarik untuk diungkapkan sebagai sebuah oto kritik bagi kita semua. IMM saat ini tidak pernah membuka laci sejarah di mana IMM dibangun dan didirikan.
Keadaan ini kemudian direfleksikan dalam tiga hal. Pertama, kehilangan refleksi tauhid, namun tauhid yang dimaksud adalah tauhid sosial, tauhid sebagai ilmu bukan tauhid sebagai ideologi. Kedua, kepemimpinan yang genuine telah mulai hilang, bahkan berubah menjadi komparador-kommparador politik, ekonomi dan terhadap kepentingan duniawi lainnya. Ketiga, IMM kehilangan intelektualitas murni, yang muncul justru intelektualitas-intelektualitas tukang.
Refleksi tersebut memang pantas untuk ditujukan kepada gerakan IMM akhir-akhir ini. Pasalnya sebagian kader IMM saat ini memang cenderung kehilangan ruh Ideologi persyarikatannya sebagai sebuah perwujudan berbangsa dan bernegara. Maka tiga dimensi penting dalam masyarakat (soaial, ekonomi dan lingkungan) harus mampu kita kuasai baik dalam ranah intelektual maupun aksi sosial.
Dalam konsep Galtung (Begawan Muhammadiyah; 2005), ada yang disebut “Utopia”, yaitu dunia yang kita inginkan , misalnya masyarakat yang berkeadilan sosial, atau dalam pandangan Muhammadiyah -masyarakat islam yang sebenar-benarnya-, dan sebagai kebalikannnya yaitu “distopia” yaitu dunia yang kita tolak, misalnya masyarakat yang mengandung berbagai bentuk kekerasan struktural, seperti kemiskinan, pemiskinan, kepincangan sosial, kebodohan dan keterbelakangan. Tapi, utopia maupun distopia mengandung derajat minimum dan maksimum. Tidak ada suatu masyarakat pun didunia kecuali masyarakat dalam keadaan perang atau mengalami revolusi fisik dan sosial, yang sepenuhnya buruk atau kacau. Dan sebaliknya tak ada didunia ini masyarakat ideal, dalam arti memiliki semua kualitas kebaikan dan kesempurnaan.
Menjadi tantangan buat para cendekia muda muhammadiyah untuk menemukan cara menggerakan etos sosial yang selama ini telah digenggam menjadi etos ekonomi. Dari situlah kemudian akan muncul lingkungan yang diharapkan sebagai sebuah wahana gerak dakwah, dakwah kultural dengan tidak melunturkan identitas sebagai mahasiswa dan sebagai kader muhammadiyah. Pemberdayaan Mahasiswa Muhammadiyah dalam pengembangan nalar kritis-sosial akan sangat berarti bagi kehidupan sosial, politik dan perekonomian negri. Hanya dengan memberdayakan ekonomi umat pembentukan kelas menengah kuat yang menjadi pilar demokratisasi dapat tercapai.Amin.

*Disampaikan sebagai salah satu syarat wajib kepesertaan Darul Arqam madya DPD IMM jabar 2009