Thursday, April 9, 2009

IMM dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Sosial, Ekonomi dan Lingkungan

Oleh: Cecep Suyudi M*

Menurut Hendi (2005), pemberdayaan adalah suatu upaya untuk merubah suatu keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya yang dibangun berdasarkan potensi lokal.
Refleksi Kritis Pemberdayaan Masyarakat
Pada berbagai program pemberdayaan yang bersifat parsial, sektoral dan charity yang pernah dilakukan, sering menghadapi berbagai kondisi yang kurang menguntungkan. Misalnya salah sasaran, menumbuhkan ketergantungan masyarakat pada bantuan luar, terciptanya benih-benih fragmentasi sosial, dan melemahkan kapital sosial yang ada di masyarakat (dotong royong, musyawarah, keswadayaan, dll). Lemahnya kapital sosial pada gilirannya juga mendorong pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan dan kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara bersama.
Kondisi kapital sosial dan perilaku masyarakat yang melemah serta memudar tersebut salah satunya disebabkan oleh keputusan, kebijakan dan tindakan dari pengelola program pemberdayaan dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang selama ini cenderung tidak berorientasi pada masyarakat golongan ekonomi lemah, tidak adil, tidak transparan dan tidak ganggu gugat. Hal yang demikian akan menimbulkan kecurigaan, kebocoran, stereotype dan skeptisme di masyarakat akibat ketidak adilantersebut. Keputusan, kebijakan dan tindakan yang tidak adil inidapat terjadi pada situasi dan tatanan masyarakat yang belum madani, yang salah satu indikasinya dapat dilihat dari kondisi kelembagaan masyarakat yang belum berdaya, yang tidak berorientasi pada keadilan, tidak dikelola dengan jujur serta terbuka dan tidak berpihak dan memperjuangkan kepentingan masyarakat lemah.
Kelembagaan masyarakat yang belum berdaya tersebut pada dasarnya disebabkan oleh karakteristik lembaga masyarakat yang ada di masyarakat cenderung tidak mengakar dan tidak representatif. Disamping itu ditengarai bahwa berbagai lembaga masyarakat yang ada saat ini dalam beberapa hal lebih berorientasi pada kepentingan pihak luar masyarakat atau bahkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, sehingga mereka kurang memiliki komitmen dan kepedulian pada masyarakat yang dibawahnya. Dalam kondisi ini akan semakin mendalam krisis kepercayaan masyarakat pada berbagai lembaga masyarakat yang ada diwilayahnya. Kondisi kelembagaan masyarakat yang tidak mengakar tidak representatif dan tidak dipercaya tersebut pada umumnya tumbuh subur dalam situasi prialaku/sikap masyarakat yang belum berdaya. Ketidak berdayaan masyarakat dalam menyikapi dalam menyikapi situasi yang ada di lingkungannya, yang pada akhirnya mendorong sikap skeptisme, masa bodoh, tidak peduli, tidak percaya diri, mengandalkan bantuan pihak luar untuk mengatasi masalahnya, tidak mandiri, serta memudarnya orientasi moral dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu terutama keikhlasan, keadilan dan kejujuran.
Kemandirian lembaga masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka membangun lembaga masyarakat yang benar-benar mampu menjadi wadah perjuangan kaum ekonomi lemah, yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhan mereka dan mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik ditingkat lokal agar lebih berorientasi kepada masyarakat miskin dan mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governance), baik ditinjau dari aspek sosial, ekonomi maupun lingkungan, termasuk perumahan dan pemukiman.
Gambaran masyarakat seperti yang dimaksud di atas hanya akan dicapai apabila orang-orang yang diberi amanat sebagai pemimpin masyarakat tersebut merupakan kumpulan dari orang-orang yang peduli, memiliki komitmen kuat, ikhlas relawan dan jujur serta mau berkorban untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk mengambil keuntungan bagi pribadi maupun kelompoknya. Tentu saja hal ini bukan merupakan suatu hal yang mudah, karena upaya-upaya membangaun kepedualian, kerelawanan, komitmen tersebut pada dasarnya terkait erat dengan proses perubahan perilaku masyarakat.
Tercerabut dari Akar Paradigma
Ikatan mahasiswa Muhammadiyah sebagai sebuah lembaga kepanjangan tangan dari muhammadiyah dengan visi dan misi yang luhur serta mulian menjadi sebuah ikon penting untuk bergerak dan menjadi pundi perkaderan yang fundamental di tubuh mahasiswa sebagai poros penerus bangsa. Piet H. Khaidir pernah mengutarakan dalam sebuah seminar di Jogja bahwa IMM saat ini telah kehilangan ghirah pergerakan sebagaimana yang terbentuk pada gerakan masa awal, dan ini menarik untuk diungkapkan sebagai sebuah oto kritik bagi kita semua. IMM saat ini tidak pernah membuka laci sejarah di mana IMM dibangun dan didirikan.
Keadaan ini kemudian direfleksikan dalam tiga hal. Pertama, kehilangan refleksi tauhid, namun tauhid yang dimaksud adalah tauhid sosial, tauhid sebagai ilmu bukan tauhid sebagai ideologi. Kedua, kepemimpinan yang genuine telah mulai hilang, bahkan berubah menjadi komparador-kommparador politik, ekonomi dan terhadap kepentingan duniawi lainnya. Ketiga, IMM kehilangan intelektualitas murni, yang muncul justru intelektualitas-intelektualitas tukang.
Refleksi tersebut memang pantas untuk ditujukan kepada gerakan IMM akhir-akhir ini. Pasalnya sebagian kader IMM saat ini memang cenderung kehilangan ruh Ideologi persyarikatannya sebagai sebuah perwujudan berbangsa dan bernegara. Maka tiga dimensi penting dalam masyarakat (soaial, ekonomi dan lingkungan) harus mampu kita kuasai baik dalam ranah intelektual maupun aksi sosial.
Dalam konsep Galtung (Begawan Muhammadiyah; 2005), ada yang disebut “Utopia”, yaitu dunia yang kita inginkan , misalnya masyarakat yang berkeadilan sosial, atau dalam pandangan Muhammadiyah -masyarakat islam yang sebenar-benarnya-, dan sebagai kebalikannnya yaitu “distopia” yaitu dunia yang kita tolak, misalnya masyarakat yang mengandung berbagai bentuk kekerasan struktural, seperti kemiskinan, pemiskinan, kepincangan sosial, kebodohan dan keterbelakangan. Tapi, utopia maupun distopia mengandung derajat minimum dan maksimum. Tidak ada suatu masyarakat pun didunia kecuali masyarakat dalam keadaan perang atau mengalami revolusi fisik dan sosial, yang sepenuhnya buruk atau kacau. Dan sebaliknya tak ada didunia ini masyarakat ideal, dalam arti memiliki semua kualitas kebaikan dan kesempurnaan.
Menjadi tantangan buat para cendekia muda muhammadiyah untuk menemukan cara menggerakan etos sosial yang selama ini telah digenggam menjadi etos ekonomi. Dari situlah kemudian akan muncul lingkungan yang diharapkan sebagai sebuah wahana gerak dakwah, dakwah kultural dengan tidak melunturkan identitas sebagai mahasiswa dan sebagai kader muhammadiyah. Pemberdayaan Mahasiswa Muhammadiyah dalam pengembangan nalar kritis-sosial akan sangat berarti bagi kehidupan sosial, politik dan perekonomian negri. Hanya dengan memberdayakan ekonomi umat pembentukan kelas menengah kuat yang menjadi pilar demokratisasi dapat tercapai.Amin.

*Disampaikan sebagai salah satu syarat wajib kepesertaan Darul Arqam madya DPD IMM jabar 2009

No comments: