Sunday, March 16, 2008

PENYEBAB KEMISKINAN

“Jelajah Sistem Perekonomian Kapitalis dan Sistem Ekonomi Islam”
Oleh: Cecep Suyudi M (Ketua Umum PC IMM Ciputat)

Banyak ragam pendapat mengenai sebab-sebab kemiskinan. Namun secara garis besar dapat dikatakan ada tiga sebab utama kemiskinan. Pertama, kemiskinan alamiyah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang; misalnya cacat mental atau fisik, usia lanjut sehingga tidak mampu bekerja, dan lain-lain. Kedua, kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM, akibat kultur masyarakat tertentu; misalnya rasa malas, tidak produktif, bergantung pada harta warisan, dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat.
Dari tiga sebab utama tersebut, yang paling besar pengaruhnya adalah kemiskinan struktural. Sebab, dampak kemiskinan yang ditimbulkan bisa sangat luas dalam masyarakat. Kemiskinan jenis inilah yang menggejala di berbagai negara dewasa ini. Tidak hanya di negara-negara sedang berkembang – seperti Indonesia - tetapi juga di negara-negara maju.
Kesalahan negara dalam mengatur urusan rakyat, hingga menghasilkan kemiskinan struktural, disebabkan oleh karena kita menerapkan sistem ekonomi kapitalis yang memberikan kesalahan mendasar dalam beberapa hal, antara lain:
Kebebasan Hak Milik
Kebebasan hak milik merupakan salah satu ide dasar yang digunakan kapitalis dalam mengatur kepemilikan. Menurut ide ini, setiap orang berhak memiliki dan sekaligus memanfaatkan segala sesuatu sesuka hatinya. Dengan demikian setiap individu berhak memiliki barang-barang yang termasuk dalam pemilikan umum (public property) seperti ladang-ladang minyak, tambang-tambang besar, pelabuhan, jalan, barang-barang yang menjadi hajat hidup orang banyak, dan lain-lain.
Pembangunan yang menyandar pada paradigma ini, jelas mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial. Akan terjadi akumulasi kekayaan yang melimpah-ruah pada segelintir orang, sementara mayoritas masyarakat tidak dapat menikmati hasil pembangunan. Sebagai contoh, 14 konglomerat terbesar di Indonesia (Bakrie Group, Salim Grup, Sinar Mas Grup, dan lain-lain) menguasai aset senilai Rp. 47,2 trilyun atau senilai 83% APBN Indonesia tahun 1993.
Tolok Ukur Pembangunan
Sebuah masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan, bila pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut cukup tinggi. Dengan demikian, yang diukur adalah produktivitas masyarakat atau produktivitas negara tersebut setiap tahun. Dalam bahasa teknis ekonominya, produktivitas ini diukur oleh Produk Nasional Bruto (PNB atau GNP) dan Produk Domestik Bruto (PDB atau GDP).
Karena PNB atau PDB mengukur hasil keseluruhan dari sebuah negara, padahal jumlah penduduk negara berlainan, maka untuk bisa membandingkan, dipakai ukuran PNB/kapita/tahun atau PDB/kapita/tahun. Dengan demikian dapat diketahui berapa produktivitas rata-rata orang dari negara yang bersangkutan.
Dengan adanya tolok ukur ini, kita dapat membandingkan negara yang satu terhadap negara lainnya. Sebuah negara yang mempunyai PNB/kapita/tahun sebesar US $750, misalnya, dianggap lebih berhasil pembangunannya daripada negara yang PNB/kapita/tahun-nya sebesar US $500.
Penggunaan tolok ukur semacam ini, cenderung menjadikan kebijakan pembangunan negara terfokus pada meningkatkan PNB semata-mata. Akibatnya pertumbuhan ekonomi yang tampak dengan meningkatnya PNB ini pun, sering diklaim oleh pemerintah suatu negara sebagai wujud keberhasilannya dalam menjalankan kepemimpinan. Padahal nilai PNB/kapita/tahun (income per kapita) ini, sama sekali tidak dapat mencerminkan pemerataan dan kemakmuran rakyat. Sebab tolok ukur tersebut hanya menunjukkan nilai rata-rata.
Banyak terjadi, sebagian kecil orang di dalam suatu negara, memiliki kekayaan yang melimpah, sedangkan sebagian besar lainnya justru hidup dalam kemiskinan. Di Amerika saja, misalnya, yang income perkapitanya mencapai US $25,400 dapat dijumpai kantong-kantong kemiskinan.
Menurut laporan John Gaventa, seorang Ilmuwan Politik dari AS, mengatakan bahwa di suatu lembah di Pegunungan Appalachia Tengah, Amerika, terdapat komunitas penduduk yang miskin sekali. Menurut perkiraan, sebanyak 70% keluarga setempat hidup di bawah garis kemiskinan, dan sebanyak 30% keluarga menganggur. Ironisnya daerah tersebut amat kaya sekali dengan tambang batubara, yang dieksploitasi oleh sebuah perusahaan tambang raksasa. Jelas bahwa penggunaan PNB atau PDB sebagai tolok ukur keberhasilan dalam pembangunan, telah menjadikan kemiskinan di suatu negara, tersembunyi di balik angka-angka tersebut.
Memang ada tolok ukur tambahan yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan pembangunan. Yaitu dengan menyertakan faktor pemerataan pendapatan dalam masyarakat. Misalnya, dengan melihat berapa prosen dari PNB yang diraih oleh 40% penduduk termiskin, 40% penduduk golongan menengah, dan 20% penduduk terkaya. Dalam ilmu ekonomi, bila 40% penduduk termiskin menerima kurang dari 12% PNB ketimpangan yang ada dianggap mencolok. Jika menerima 12% - 17%, ketimpangannya dianggap sedang. Dan jika menerima lebih dari 17%, ketimpangannya dianggap lumayan kecil. Meskipun demikian, jika paradigma kebebasan hak milik tetap menjadi acuan, terjadinya ketimpangan tetap tidak pernah bisa dihindari.

Peran Negara
Menurut pandangan kapitalis, peran negara secara langsung di bidang sosial dan ekonomi, harus diupayakan seminimal mungkin. Bahkan diharapkan negara hanya berperan dalam fungsi pengawasan dan penegakan hukum semata. Lalu siapa yang berperan secara langsung menangani masalah sosial dan ekonomi? Tidak lain adalah masyarakat itu sendiri atau swasta. Karena itulah dalam masyarakat kapitalis kita jumpai banyak sekali yayasan-yayasan. Di antaranya ada yang bergerak dibidang sosial, pendidikan, dan sebagainya. Selain itu, kita jumpai pula banyak program swatanisasi (privatisasi) badan usaha milik negara.
Peran negara semacam ini, jelas telah menjadikan negara kehilangan fungsi utamanya sebagai pemelihara urusan rakyat. Negara juga akan kehilangan kemampuannya dalam menjalankan fungsi pemelihara urusan rakyat. Akhirnya rakyat dibiarkan berkompetisi secara bebas dalam masyarakat. Realitas adanya orang yang kuat dan yang lemah, yang sehat dan yang cacat, yang tua dan yang muda, dan sebagainya, diabaikan sama sekali. Yang berlaku kemudian adalah hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang dan berhak hidup.
Untuk mengatasi penyebab masalah kemiskinan tersebut, maka tiga kesalahan mendasar diatas, perlu direformasi terlebih dahulu. Bagaimana caranya ? Harus merubah paradigma Sistem Ekonomi yang sudah terbukti telah me’miskin’kan rakyat secara struktural. Pilihan nya tidak ada yang lain, selain kembali kepada Sistem Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah).
ZIS Untuk Pengentasan Kemiskinan
Kemiskinan yang diderita oleh sebagian besar penduduk Indonesia yang mayoritas muslim tidak akan dapat dipecahkan dengan cara-cara konvensional, yaitu penyaluran ZIS dalam bentuk pemberian bantuan berupa uang, beras dan pakian semata. Cara-cara demikian justru hanya akan dapat menciptakan ketergantungan terus menerus dari kalangan muslim pada pemberian itu. Mereka akan terus manunutk diberi bantuan. Oleh sebab itu, perlu dirumuskan strategi pemberdayaan kaum dhuafa yang lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif yang mampu membebaskan mereka dari ketergantungan kepada bantuan. Selain itu, dana ZIS yang disalurkan digunakan pula untuk peningkatan kualitas SDM dari kaum dhuafa itu sendiri, berupa penyelenggaraan barbagai pelatihan keterampilan dan penyediaan bea siswa, serta membebaskan mereka dari biaya-biaya pengobatan di puskesmas.
Yang perlu dilancarkan adalah program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan secara terpadu, melibatkan seluruh pihak terkait dengan program pengentasan kemiskinan dan masyarakat itu sendiri ditingkat akan rumput, baik golongan kaya/menengah maupun dari kelompok masyarakat golongan miskin itu sendiri. Oleh sebab itu, disetiap kelurahan, program pengentasan kemiskinan yang berbasiskan pada masyarakat iotu sendiri. Untuk itu seliuruh KK yang tergolong mampu disadarkan tentang tanggung jawab meraka, dengan cara menegeliuarkan ZIS.

PERANAN PEMUDA DALAM PEMBANGUNAN BANGSA

PERANAN PEMUDA DALAM PEMBANGUNAN BANGSA
Oleh: Cecep Suyudi M (Ketua Umum PC IMM Ciputat 2007-2008)


Pepatah mengatakan, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarahnya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang selama tiga setengah abad hidup dalam cengkeraman Belanda di tambah lagi hidup dalam penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun. Kemudian, kemerdekaan yang kita raih adalah bukti nyata dari sebuah pengorbanan yang sangat besar dari semua komponen bangsa. Pembangunan Nasional dalam rangka mewujudkan bangsa yang adil, makmur serta berdaulat dengan berlandaskan azas pancasila serta UUD 1945 tidak akan pernah tercapai jika tidak di dukung oleh semua rakyat Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut asas demokrasi yang bersumber kepada nilai- nilai kehidupan yang berakar pada budaya bangsa Indonesia. Perwujudan dari asas demokrasi itu diartikan sebagai paham kedaulatan rakyat, yang bersumber kepada nilai kebersamaan, kekeluargaan dan kegotongroyongan. Demokrasi ini juga memberikan penghargaan yang tinggi terhadap nilai- nilai musyawarah yang mencerminkan kesungguhan dan tekad dari bangsa Indonesia untuk berdiri diatas kebenaran dan keadilan.
Nilai- nilai kesanggupan dan kerelaan untuk berkorban dengan penuh keikhlasan dan kejujuran dalam mengisi kemerdekaan demi kepentingan bangsa dan negara telah digantikan oleh kerelaan berkorban hanya untuk mengisi kesenangan dan kemakmuran pribadi pihak- pihak tertentu. Terjadinya Kolusi Korupsi Nepotisme pada masa pemerintahan Orde Baru merupakan bukti nyata pengingkaran terhadap sikap keikhlasan dan kejujuran. Tidak hanya itu Indonesia mengalami krisis multi dimensi yang demikian pelik, mulai dari krisis moral, krisis ekonomi, krisis kepercayaan, hingga krisis kepemimpinan. Tumbanganya pemerintahan Orde Baru pada 21 Mei 1998 masih segar dalam ingatan kita bahwa pemerintahan yang tidak bersih dan mengabaikan rasa keadilan tidak akan mendapat dukungan dan kepercayaan dari rakyat. Benarlah apa yang dikatakan pujangga Mesir Syauqy Beyq : Suatu bangsa yang kokoh bertahan. Selama akhlak mewarnai kehidupan.
Setiap orang pasti merindukan pemerintah yang bersih, jujur, kuat, berani dan berwibawa. Harapan itu merupakan amanat dari Pancasila dan UUD 1945 yang selalu mendambakan pemerintahan yang memiliki moral kemanusiaan dengan semangat kebangsaan. Disamping itu, peran pemuda dalam mengisi kemerdekaan serta pembangunan nasional telah memberikan dampak positif bagi pertumbuhan bangsa. Kepeloporan pemuda dalam pembangunan bangsa dan negara harus dipertahankan sebagai generasi penerus yang memiliki jiwa pejuang, perintis dan kepekaan terhadap social, politik dan lingkungan. Hal ini dibarengi pula oleh sikap mandiri, disiplin, dan memiliki sifat yang bertanggungjawab, inovatif, ulet, tangguh, jujur, berani dan rela berkorban dengan dilandasi oleh semangat cinta tanah air.
Maka hasil dari sebuah refleksi dari kepemimpinan pemerintah selama ini mengatakan generasi terdahulu belum bisa menunjukan dirinya sebagai pemimpin. Dalam berbagai kebijakan-kebijakannya pemerintah tidak pro rakyat. Kenaikan harga BBM, kenaikan harga bahan-bahan pokok, serta bahan-bahan baku lainnya adalah bukti dari dampak kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Mereka masih berpegang teguh pada aturan lama yang selalu memihak kelompok berduit.
Kenyataan ini telah disadari oleh kaum muda Indonesia. Kesadaran yang diharapkan mendorong segenap kaum muda untuk segera mempersiapkan dan merancang prosesi pergantian generasi. Karena pada hakikatnya kita membutuhkan wajah-wajah baru. Sehingga muka lama yang hampir usang itu bisa tergantikan dengan muka baru yang lebih muda serta juga memiliki cita-cita dan semangat baru.
Indonesia membutuhkan pemimpin dari kaum muda yang mampu merepresentasikan wajah baru kepemimpinan bangsa. Ini bukan tanpa alasan, karena kaum muda dapat dipastikan hanya memiliki masa depan dan nyaris tidak memiliki masa lalu. Dan ini sesuai dengan kebutuhan Indonesia kini dan ke depannya yang perlu mulai belajar melihat ke depan, dan tidak lagi berasyik-masyuk dengan tabiat yang suka melihat ke belakang. Kita harus segera maju ke kepan dan bukan berjalan ke masa lalu. Dan secara filosofisnya, masa depan itu adalah milik kaum muda. Mereka lebih steril dari berbagai penyimpangan orde yang telah lalu. Mereka tidak memiliki dendam masa lalu dengan lawan politiknya. Mereka tidak memiliki kekelaman masa lalu. Mereka juga tidak memiliki trauma masa lalu yang sangat mungkin akan membayang-bayangi jika nanti ditakdirkan memimpin. Lebih dari itu, kaum muda paling memiliki masa depan yang bisa mereka tatap dengan ketajaman dan kecemerlangan visi serta memperjuangkannya dengan keberanian dan energi yang lebih baru.
Dalam perjalanan zaman, sejarah baru selalu ditandai dengan lahirnya generasi baru. Dalam kancah sejarah, generasi baru yang mengukir sejarah baru itu adalah dari kalangan kaum muda. Perputaran sejarah juga telah membuktikan bahwa setiap generasi itu ada umurnya. Dengan demikian, nama-nama yang muncul sekarang sebagai calon pemimpin yang sebenarnya adalah satu generasi, juga ada umurnya.
Inilah peluang yang mesti dijemput oleh kaum muda saat ini. Sebuah peluang untuk mempertemukan berakhirnya umur generasi itu dengan muara dari gerakan kaum muda untuk menyambut pergantian generasi dan menjaga perputaran sejarah dengan ukiran-ukiran prestasi baru. Maka, harapannya adalah bagaimana kaum muda tidak membiarkan begitu saja sejarah melakukan pergantian generasi itu tanpa kaum muda menjadi subjek di dalamnya.

MEMBANGUN MILITANSI KADER

MEMBANGUN MILITANSI KADER
DITENGAH ARUS KRISIS BERORGANISASI
Oleh: Cecep Suyudi M (Ketua Umum PC IMM Ciputat 2007-2008)

Berawal dari sebuah kecenderungan (mahasiswa sekarang), bahwa organisasi identik penuh dengan orang pemalas, jarang masuk kuliah, tukang demo, pembangkang, IP kecil, kuliah berantakan serta hal lain yang memang dianggap negative. Organisasi adalah sosok hantu yang menyebalkan, beban yang mengganggu, sosok yang berabu politis, penghalang kesuksesan serta anggapan-anggapan negative lain yang pasti menyesakkan dad bagi sang organisator (aktivis). Ada semacam sindrom organisasifobia yang menjangkit serta telah menjadi virus yang menular dilingkungan mahasiswa pada saat sekarang ini.
Melihat stereotif diatas, jangan terburu nafsu untuk kita bantah. Mungkin ada benarnya juga karena tidak semua orang yang aktif diorganisasi taat pada jalur yang dimiliki salah satu ortom Muhammadiyah dilingkungan mahasiswa (IMM), yaitu tertib ibadah, tertib study dan tertib organisasi. Mungkin menurut pandangan mereka -orang yang memandang sisnis terhadap organisasi- melihat kebanyakan dari aktivis hanya berada pada jalur tertib organisasi sehingga mengesampingkan yang lainnya. Yang kemudian, karena hal itulah, banyak bermunculan pandangan negative terhadap perilaku berorganisasi yang menjangkit mahasiswa sekarang, yang kehidupannya banyak orang menganggap jauh lebih hedonis disbanding masa lalu. Hal ini sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin menunjukan terpengaruhnya budaya timur oleh budaya barat, atau lebih kita kenal dengan westernisasi.
Jika kita telusuri lebih lanjut dalam hal berorganisasi di kampus UIN Syahid ini, seberapa banyak dari mereka yang benar-benar militant sebagai organisatoris. Tentu jawabnya sangat memprihatinkan. Apalagi jika persempit lagi, berapa banyak dari mereka yang IMM. Jawabnya tentu semakin mengenaskan. Kemudian jika kita tanyakan, berapa jumlah mereka yang benar-benar aktif di IMM. Maka jawabnya semakin menkutkan. Dan jika kita telusuri lebih lanjut, berapa diantara yang militant yang tulus ikhlas mengabdi pada IMM. Jawabnya tentu semakin menyedihkan.
Mungkin hal inilah yang saya amati selama saya mulai terikat sebagai warga ikatan setelah mengikuti masta special yang hanya di ikuti oleh empat orang peserta masta pada waktu itu. Akan tetapi walaupun jumlah kita sedikit atau mungkin sangat sedikit jika kita bandingkan dengan organisasi lain yang ada di UIN, misalnya HMI, PMII, KAMMI. Tapi tak usah khawatir, karena kita sering terbuai dengan apologi “walaupun sedikit, yang penting berkualitas” atau dalam istilah ‘Masto’ elite minority. Namun pertanyaannya kemudian, benarkah IMM telah menggondol elite minority? Pertanyaan inilah yang harus kita jawab sebagai bukti terhadap apologi diatas.

Terapi Intelektualitas
“Seorang aktivis yang tidak punya basis intelektual akan layu sebelum berkembang.” Hal inilah yang selalu melandasi IMM dalam gerakannya yang terus berusaha untuk tidak meninggalkan three kompetensi IMM; tertib ibadah, tertib study serta tertib organisasi. IMM sebagai basis mahasiswa dilingkungan warga Muhammadiyah yang selalu mengedepankan selogan IMM; unggul dalam intelektualitas, anggun dalam moralitas serta progressive dalam gerakan, harus selalu istiqamah pada khittah awal mahasiswa adalah sebagai bagian dari golongan intelektual dalam pergerakan social keagamaan serta budaya. Kader ikatan paling tidak harus memiliki dua kemampuan dasar, yaitu kemampuan menulis serta research. Hal ini berarti kader ikatan harus mampu memproduksi atau menghasilkan karya baik artikel, buku maupun hasil penelitian ilmiah. Lalu kemudian, tradisi menulis ilmiah yang selama ini sempat mandeg harus tetap dikembangkan dan harus terus diperjuangkan untuk menjaga konsistensi intelektualitas yang menjadi cirri khas Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

Terapi Organisatoris
Ketika seorang kader menjadi pionir dalam sebuah organisasi maka peranannya akan sangat dibutuhkan demi kemajuan organisasi tersebut. Sumbangsih pemikirannya menjadi pilar yang mamperkokoh ketangguhan dari organisasinya. Namun seringkali kita menemukan fenomena dalam berorganisasi yang justru mereka yang menjadi pionir-pionir terdepan organisasi itu hengkang dan lari tanggung jawab yang seharusnya dia embank sebagai amanah dan perjuangan tanpa sempat mewariskan nilai-nilai positif pada generasi-generasi selanjutnya. Ia tidak sadar bahwa sebelumnya ia belajar, berlatih dan mengasah kemampuannya dalam organisasi tersebut. Seperti anak ayam melupakan induknya. Tidaklah mudah menjadi calon kader yang mempunyai kemampuan untuk menjadi seorang pionir organisasi. Hal itu terbukti ketika para remaja, pemuda sebagai penerus bangsa hanya mengutamakan style daripada otak, dan mereka lebih menyukai hal-hal yang bersifat hura-hura. Permasalah-permasalahan inilah yang harus segera dijawab oleh sebuah organisasi terutama oleh IMM yang merupakan kepanjangan tangan dari Muhammadiyah yang bergerak dalam ruanga lingkup mahasiswa yang seharusnya selalu mengedepankan intelektual sebagai basis pergerakan. Tidakalah mudah bagi sebuah organisasi untuk tetap bergerak aktif tanpa didukung oleh kader unggulan yang dimilikinya. Kelangsungan dan kelanggengan organisasi tidak dapat dilepaskan dari adanya kader yang loyal terhadap organisasi dimana ia bernaung. Kader-kader inilah yang nantinya diharapkan dapat melanjutkan laju organisasi dengan lebih baik dibanding sebelumnya. Namun pada kenyataannya kader-kader yang mampu untuk mengemban tugas organisatoris dengan baik tidak dapat tercipta begitu saja. Diperlukan sebuah proses yang berkesinambungan untuk mencapai kearah sana. Namun yang jadi permasalahan adalah bagaimana membentuk kader-kader yang loyal sehingga mampu bertindak secara militan bagi organisasinya.
Tentunya untuk melaju kearah sana diperlukan usaha yang tidak mudah serta optimal. Sebagai sebuah organisasi yang sedang menggeliat untuk mengembalikan kembali semangat dalam bergerak maka kita sebagai seorang kader ikatan harus lebih membangun kembali kesadaran dan pemahaman terhadap visi dan misi ikatan dalam rangka mencapai tujuannya yaitu “menguasahakan terbentuknya akademisi islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah.”

Memajukan Gerakan
Militansi seorang kader berorganisasi dapat juga diukur dari seberapa jauh dari yang bersangkutan menunjukan kesungguhan, sikap, dan kiprahnya secara optimal dalam memajukan gerakan kearah yang lebih baik. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai salah satu ortom Muhammadiyah yang dikenal mempunyai visi dan misi dalam memajukan tradisi ilmiah telah menunjukan sukses yang luar biasa dengan melahirkan banyak tokoh-tokoh nasional. Kesuksesan tersebut merupakan akumulasi dan sinergi dari seluruh kiprah kader ikatan disemua lini dalam mempersembahkan yang terbaik bagi ikatan dan persyarikatan.
Karenanya jika ada yang merasa memiliki militansi yang tinggi dalam berorganisasi di IMM, maka bagaimana yang bersangkutan benar-benar berkiprah dalam memajukan kualitas dan kuantitas kader. Tidak hanya menilai dan menuntuk orang lain, tapi juga harus dibuktikan dengan tindakan yang membangun. Jangan sampai terjadi, ‘menuntut IMM maju’ tetapi kiprahnya masih terbagi-bagi pada hal lain yang tidak mendukung keberlangsungan eksistensi organisasi. Juga menjadi ironi, mengaku militant tetapi jumud dan tidak mau menunjukan sikap positif dalam melakukan pembaharuan gerakan yang berguna untuk keberlangsungan ikatan juga persyarikatan. Mari kita kerahkan seluruh militansi kita sebagai kader dan pimpinan dalam membesarkan, memajukan dan membawa gerakan ini kemasa depan yang lebih cerah serta memberi nilai dan fungsi yang rahmatan lil alamin bagi kehidupan. Sebuah militansi yang positif, aktif, konkret, cerdas dan artikulatif dalam memajukan gerakan ikatan serta persyarikatan.
Memperjuangkan ikatan bukan ketika senang dan ada kepentingan tetapi justru diuji ketika manakala sulit dan memerlukan banyak pengorbanan. Militansi kader juga harus ditunjukan oleh sikap setia pada ikatan, artinya tidak menjadikan organisasi sebagai batu loncatan kepentingan sendiri mauipun kelompok. Jika ada kepentingan politik maka aktif dan bergairah dalam berorganisasi. Tetapi manakala kepentingan politiknya tidak terpenuhi, amak ber-IMM kendor, bahkan lari dari IMM. “Kau bagai orang pengecut”.
Disinilah pentingnya tidak menjadikan organisasi (IMM) sebagai batu loncatan apa pun karena akan kecewa karena memang IMM bukan untuk berpolitik. Kalau memang memperoleh hal yang positif dari IMM maka seperti itu merupakan implikasi posiotif dari berbuat baik serta berkiprah dalam perjuangan, bukan menjadi tujuan.
__“man jahada fina lanahdiyannahum subulana”__