Sunday, August 29, 2010

Repblik Yang Tertunda

Oleh: Cecep Suyudi M, S.EI

Empat puluh tahun silam Presiden Soekarno pernah berpesan bahwa maksud dari republik adalah res publica yang artinya adalah “kepentingan umum”. Negara republik bukan sekedar kebalikan dari kerajaan. Sebuah negara yang dikepalai oleh seorang raja dengan kekuasaan turun-temurun. Republik juga tidak hanya sebatas sebuah negara yang kepalanya disebut presiden hasil pilihan rakyatnya. Hal yang terakhir ini hanya sekedar kulitnya. Isinya adalah bahwasanya negara republik adalah sebuah negara yang kebijakan-kebijakannya diarahkan untuk kepentingan umum.
Pesan ini disampaikan di hadapan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956. Res publica harus diterapkan di semua lapangan. Lapangan politik, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Pendek kata, di seluruh lini kebijakan harus mengacu pada prinsip res publica.
Kemerdekaan Indonesia yang sering diibaratkan dengan istilah “jembatan emas” menurutnya mempunyai dua cabang. Cabang pertama akan membawa rakyat Indonesia ke alam kapitalisme nasional dimana kemakmuran bangsa ini hanya dimonopoli oleh sekelompok orang. Sedangkan cabang yang kedua akan menghantarkan seluruh rakyat Indonesia ke dalam kemakmuran hasil karya bersama dan dinikmati bersama-sama pula.
Dalam pidatonya, Soekarno membedakan dua hal. Antara konstituante dan parlemen. Konstituante adalah sebuah badan di mana di dalamnya orang-orang bermusyawarah dengan penuh hikmah kebijaksanaan untuk merumuskan aturan-aturan demi kemaslahatan seluruh rakyat. Sedangkan parlemen adalah sebuah badan dimana orang-orang di dalamnya saling berdebat untuk memenangkan alirannya sendiri, ideologinya sendiri. Parlemen biasanya menjadi satu jalan untuk mendapat kekuasan dalam pemerintahan. Perbedaan antara keduanya sangat jelas. Yang pertama menjadikan kemaslahatan umum sebagai tujuannya. Yang kedua menjadikan kekuasan sebagai puncak orientasinya.
Pembedaan antara kedunya sebagai sebuah terminologi mungkin tidak terlalu penting. Boleh jadi justru ada orang yang membuat definisi sebaliknya dari apa yang didefinisikan oleh Soekarno. Toh, ia sendiri juga kelihatannya tidak konsisten benar menggunakan definisi tersebut. Di satu tempat terkadang ia menggunakan terminologi konstituante padahal yang dikehendaki sebaaliknya. Begitu juga sebaliknya.
Tapi yang terpenting adalah titik tekan dari maksud pendefinisian itu. Sang Founding Father republik ini menekankan satu hal yang sangat urgen bahwa sidang perwakilan rakyat baik itu konstituante atau pun parlemen harus mengedepankan kepentingan rakyat secara umum (res publica). Lebih lanjut ia menegaskan, “the constituation is made for man, and not man for the constituation”. Maksud “for man” di sini diterjamahkan dengan “untuk kepentingan manusia secara umum” (seluruh rakyat).

Pergulatan panjang
Sudahkah negara ini menjadi republik? Pertanyaan ini menjadi signifikan di tengah-tengah situasi bangsa yang antah-berantah. Sebelum pertanyaan di dijawab, ada baiknya kita menelusuri perjalanan panjang bangsa ini dalam mencari hakikat republik. Pergulatan ini sudah berjalan sejak dirumuskannya tanah air ini dengan bentuk republik. Sedetikpun tak pernah berhenti. Republik melekat sangat erat dalam tubuh negara Indonesia bersamaan dengan dua prinsip lainnya. Prinsip “kasatuan” dengan semboyan bhineka tunggal ika. Dan prinsip “Pancasila” sebagai dasar negara.

Selama puluhan tahun tak ada satupun kekuatan signifikan yang dapat menumbangkan prinsip-prinsip yang telah dirumuskan oleh Sang Foundiong Father kita. Hal ini setidaknya memperkuat tesis Soekarno bahwa semuanya ia gali tiada lain dari buminya Indonesia. Semuanya telah sesuai betul dengan watak dan jati diri bangsa Indonesia. Kesesuaian ini tentunya mengundang optimisme bahwa semua prinsip itu akan membumi dan dapat membuahkan cita-cita luhur yang terkandung di dalamnya.
Jika saja kita memegang prinsip: hari ini harus lebih baik dari kemarin. Esok harus lebih baik dari hari ini. Maka pencarian republik yang dari masa ke masa terus dilakukan secara simultan, idealnya saat ini pencarian itu sudah mulai menemukan eksistensinya. Keadaan bangsa ini seharusnya sudah memasuki era di mana kesejahteraan dan kemakmuran paling tidak hampir merata. Indonesia seharusnya sudah mendekati jati dirinya yang berketuhanan, berprikemanusiaan, bersatu, dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan, dan yang terpenting adalah berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Cita-cita terakhir inilah yang terkandung dalam semangat republik.

Antara Idealita dan Realita
Republik, sebagai sebuah cita-cita tentu tetap ideal dan pervect sebagaimana tujuan luhurnya. Namun pada tataran praksis, ia tak ubahnya sebuah teks. Republik tak mungin lepas dari para penafsirnya yang tak lain dan tak bukan adalah para penguasa negri ini. Tak pelak, republik diterjamahkan dengan berbagai penafsiran sesuai dengan kapasitas bahkan kepentingan para penguasanya. Pendek kata, satu republik banyak makna.
Keadaan ini tentu sah-sah saja. Kalau tidak malah menjadi suatu keharusan dimana perkembangan jaman menuntut respon dan kebijakan yang berbeda-beda. Meski demikian, pertanyannya tetap sama. Sudahkah republik benar-benar res publika? Benarkah kebijakan-kebijakan di negri ini benar-benar memihak pada kepentingan rakyat banyak. Sudahkah kemakmuran dan keadilan di negri ini merata ke seluruh lapisan masyarakat? Pertanyaan ini tentu mudah dijawab jika sekali waktu kita mau road show ke masyarakat bawah. Republik boleh saja diterjamahkan ke dalam beragam penafsiran. Tapi esensi dan tujuannya harus tetap sama. Res publica! Asal jangan mengatasnamakan republik untuk menghancurkannya.

Realitas Ironis
Tak sepatutnya bagi seorang patriot yang dalam benaknya bersemayam bara semangat merasa miris menatap pahit getirnya sejarah. Tapi jika kita menengok bangsa kita belakangan, tak berlebihan jika perasaan itu acap kali timbul tenggelam bahkan seringkali berlaga di depan mata. Krisis bangsa yang berkecamuk sejak sekian lama tak kunjung menampakkan titik akhirnya. Gerbong reformasi yang sudah berjalan hampir satu windu seolah-oleh kehilangan jati dirinya.
Nasib rakyat jelata semakin hari semakin empot-empotan. Angka kemiskinan semakin menanjak. Harga barang terus melambung. Pekerjaan menjadi barang mahal yang sulit didapatkan. Sementara budaya konsumerisme semakin menunjukkan kesuburannya. Kriminalitas merambah pada ranah yang sangat mengkhawatirkan. Bayangkan, dalam suatu keluarga, orang tua yang semestinya menjadi suri tauladan dan menjadi pelindung bagi anak-ankanya, malah tega menyiksanya, memperkosanya, menyetrikanya, bahkan ada yang membakarnya.

Menurut banyak komentator, kejadian ironis ini banyak terjadi di kalangan masyarakat bawah. Para orang tua ini tidak tahu bagaimana mendidik anak-anaknya. Kurang pendidikan? Ya. Tapi bagaimana mereka sempat memikirkan masalah pendidikan, sedangkan untuk makan sehari-hari saja kesulitan. Secara simplistis, dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor determinan yang menyebabakan krisis multidimensi di negri ini adalah kesenjangan ekonomi.
Kenyataannya, di tengah-tengah kemiskinan bangsa ini masih banyak mereka yang dapat naik haji. Tercatat jumlah jamaah haji Indonesia ada 200.000 orang. Padahal diantara mereka ada yang sudah dua atau pun tiga kali berangkat haji. Kita juga menyaksikan banyak orang kaya di negri ini. Mereka terkadang mempunyai kendaraan mewah lebih dari satu. Untuk urusan makan saja mereka sudah tak selera lagi dengan masakan dalam negri. Tapi pemandangan lain sungguh mengenaskan. Di ujung desa sana banyak masyarakat kita yang sekedar makan nasi aking saja tidak kenyang. Jangankan memilih menu yang representatif untuk kesehatan. Sekedar bertahan hidup (survival) saja kelimpungan.

Kembali Pada Sejarah

Lagi-lagi Soekarno pernah berpesan: Jas merah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Tapi terkadang kita kebingungan. Sejarah manakah yang semestinya tak hilang dari ingatan kita. Memori sejarah hanya menyisakan duka nestapa yang berkepanjangan. Dari demokrasi terpimpin sampai demokrasi liberal republik belum menampakkan eksistensinya. Yang kaya makin kaya. Yang miskin bertambah miskin.
Melihat konteks sejarah yang seperti ini, kembali pada sejarah mungkin dapat dimaknai sebagai kembali pada elan vital dan tujuan luhur didirikannya bangsa yang bernama “Republik Indonesia”. Res publica! Res publica! Res publica! Begitulah pesan Soekarno dalam pidatonya. Sampai saat ini rasanya republik ini masih

No comments: